26/12/10

Rindu Kami PadaMu

Rindu Kami PadaMu – Ilustrasi Kehidupan Rakyat Kecil di Kota Besar


Di negara berkembang, kawasan kumuh sering kali menghiasi gedung-gedung tinggi nan mewah. Perkampungan yang menampung rakyat kelas menengah ke bawah menyebar di sela-sela tingginya gedung pencakar langit. Pemandangan ironis ini kerap kali menjadi bukti kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh tidak meratanya kesejahteraan. Bagi beberapa pihak di kelas menengah ke atas, kehidupan di kampung itu bagai jauh tersembunyi, bahkan sering kali dilupakan, entah sengaja atau tidak. Bagaimanapun sifat individualis memang sering kali mewarnai kehidupan perkotaan, seperti yang terujar oleh Golany: “the city stressed individualism and private property rather than the communal system”.[1]



“Rindu Kami PadaMu” adalah sebuah film yang bercerita tentang kehidupan perkampungan di Jakarta. Ia berkisah tentang tiga anak kecil: Rindu, Asih, dan Bimo. Ketiganya memiliki kerinduan yang mendalam akan cinta. Rindu, seorang gadis kecil yang sulit untuk berbicara, merindukan kehadiran kakaknya yang terpisah olehnya karena penggusuran. Asih, seorang anak perempuan yang tidak pernah melepaskan sajadah milik ibunya, berharap ibunya akan datang ketika sajadah itu tergelar. Sementara Bimo, seorang bocah lelaki yang sehari-harinya membantu kakaknya berjualan telur, merindukan sosok ibunya yang telah tiada entah sejak kapan. Berlatarkan nuansa menuju lebaran, film ini memberikan pemandangan lain dari kehidupan perkotaan yang kerap kali terpaku pada riuh jalanan besar dan derap kaki yang sibuk bekerja.

Beberapa hal yang kiranya menarik untuk diperhatikan dari film ini adalah kehidupan warga yang beragam, namun tetap solid dan trauma Rindu akan penggusuran. Apa yang dideskripsikan film ini mengenai sebagian kecil kota Jakarta tentu bertentangan dengan argumen Golany di atas. Beberapa adegan di film ini justru tidak memperlihatkan sisi individualis masyarakat kota, misalnya ketika seorang gadis hendak bunuh diri karena merasa tidak disayang oleh ayahnya, warga sekitar langsung turut membantu dengan berbagai cara.

Meskipun nilai kebersamaan justru hadir di dalamnya, wilayah perkampungan seperti ini tetap saja dianggap informal, sehingga sering kali berakhir pada penggusuran. Penggusuran juga kerap kali mengatasnamakan ketertiban dan pembangunan. Ia menjadi salah satu cara untuk ‘urban redevelopment’ agar terjadi pembaruan.[2]

Mengingat tujuan penggusuran tersebut, ada baiknya dilihat kembali bagaimana perkampungan di kota dapat tercipta. Sering kali kondisi seperti ini karena adanya citra yang dianggap baik dari orang luar kota besar pada kehidupan urban. Gambaran ini tipikal sebenarnya, seperti yang dideskripsikan di artikel “Patterns of Development on The Metropolitan Fringe” :rural migrants move into urban fringe areas as one step in a progressive rural-to-urban migration process, creating…. A temporary holding location…”.[3] Dengan kata lain, informalitas tidak dapat terlepas dari kehidupan rural-urban. Ia menjadi bukti adanya ketimpangan kesejahteraan pada mereka yang kemudian memunculkan urban informality. Dari sini yang seharusnya kita pertanyakan adalah mengapa mereka tidak bisa hidup selayak mereka yang digolongkan menengah ke atas?

Negara dunia ketiga sering kali memiliki citra yang ingin dicapai dari gambaran yang telah dipampang oleh negara dunia pertama. Citra inilah yang kemudian mendorong terjadinya modernisasi dan seringnya tidak menyebar secara merata ke pelosok kota. Bisa kita lihat bagaimana kota lebih modern pada bagian pusatnya saja, sementara mereka yang hidup di pinggiran atau perkampungan justru terlupakan. Tak urung gaya hidup masyarakat menengah ke atas pun cenderung mengikuti gaya hidup di negara dunia pertama, sementara rakyat ‘kampung’ justru termarjinalisasi:

Globalization and its subsequent economic liberalization simply strengthen the domination of the ‘center’ beyond the national boundary. The peripheries, that is, remote areas in the archipelago and urban kampung settlement, remain untouched”[4]

Lalu apakah penggusuran kemudian benar-benar dapat menghapuskan image kumuh pada bagian-bagian termarjinalisasikan kota sementara citra negara dunia pertama terus dikejar? Kiranya bagian inilah yang kemudian disentil oleh “Rindu Kami PadaMu” kepada masyarakat kota di berbagai kalangan manapun. Kehidupan rakyat kecil yang begitu penuh cinta dan kebersamaan menyadarkan kita, bahwa terkadang kita perlu melihat kembali apa yang ada di sekitar kita dan sejenak menolehkan kepala dari citra negara dunia pertama.


[1] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 57.

[2] Triatno Yudo Harjoko, “PENGGUSURAN OR EVICTION IN JAKARTA: Solution Lacking Resolution for Urban Kampung”, hal. 18 (sumber: http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/Harjoko-T-ASAA2004.pdf)

[3] John O. Browder, James R. Bohland, and Joseph L. Scarpaci, “Patterns of Development on the Metropolitan Fringe”, Journal of the American Planning Association, 1995, hal. 304.

[4] Triatno Yudo Harjoko , Op.Cit., hal.22.

20/12/10

setelah petang itu...


"aku tidak ingin melepas pakaianku karena ada sisa pelukmu di sana."

"aku pun tak ingin demikian. Biarlah angin yang membawa suara-suaraku padamu."

"ku yakini suara itu kian merdu hingga untuk beberapa saat ku terdiam membisu..."

"...dan tetaplah dalam bisikan suara itu--meskipun dengan perlahan. Resapi tiap jumput kata yang terucap."

"..."
---
FHK - AMA

18/12/10

Carol Masuk Kamar Pria

ini beberapa line dari twit saya (@dursala) pada tanggal 17 Desember 2010.. terinspirasi dari "teori paradoks masyarakat/kebudayaan" yang digagas oleh Amri dan saya:


  1. Carol masuk kamar teman prianya. Numpang mandi.. tahu2 ada yang mengetuk kamar kos2an temannya itu. "MAS, BUKA!!"
  2. "Sebentar" si pria sedang asyik menulis skripsi, sepertinya. Carol buka baju di kamar mandi. Asik membasuh luka cakarnya..pelan-pelan
  3. "NGAPAIN, MAS!? BUKA WOY!" | "SIAPA, SIH?!" | pintu terbuka dan rentetan cerewet ibu-ibu mengalir. Carol berdendang kecil di kamar mandi
  4. "Mas ngapain di dalam?" | "ngetik!"| "klo ngetik knp bukanya lama bgt?" | "Saya ga suka lg nulis terus diganggu!" | Carol membasahi dirinya
  5. "Ceweknya td msk ke kamar?" | "iya. knp?" | "ngapain, mas? mas bs saya usir klo ngapa2in lho!" | Carol mendengar bagian itu. Tersinggung
  6. "Terus cweknya dimana sekarang?" | "lagi mandi!" | "Mandi kok di tempat laki-laki" | Carol benar-benar tersinggung. Ia keluar tanpa handuk
  7. "Kalau saya numpang kamar mandi di tempat ibu, boleh? Kenalan dulu, deh. Saya Carol. Ibu?" | Sang ibu berjilbab itu kaget.
  8. Si pria menutup muka. Memijit2 dahinya. Entah apa kata tetangga nanti. Yang pasti si ibu berjilbab sedikit mundur melihat tubuh Carol
  9. "Bu, kok diam aja?" | "Kamu wanita murahan!!!" | "Hah? Kok gitu?" Carol melongo seiring ibu2 itu pergi dengan rasa jijik.
  10. "Carol, lu tuh telanjang! Masih pake nanya "kok gitu?"| "Oh. iya. lupa pake handuk." | Carol msk ke kmr mandi, berdendang lagi
  11. Esoknya ketika Carol ke kos itu lagi ia mendengar bisik-bisik. Setiap bisik itu datang, luka cakarnya makin menyayat...
  12. Carol ikuti bisik-bisik itu..."darimana datangnya ya?"| "Iya. namanya Carol, jeng!" | "Carol..macam bule aja. Dsr murahan."
  13. Dua ibu2 sedang bergunjing. Carol menahan tawanya ketika mendengar dugaan2 mrk: bule, murahan, jalang, pelacur, pecinta seks, nafsuan
  14. Suatu hari Carol datang dengan jilbab...pas ada pengajian di dekat tempat si ibu2 tinggal. Carol membaca Quran dengan indah dan syahdu
  15. Semenjak itu, bisik-bisik hilang. Dugaan hanya satu: CAROL TOBAT. Begitulah. Carol pun tak pernah kembali lagi. Ia mencuri jilbab si ibu2

28/11/10

Tanah, Senjata, dan Air Mata

Postingan saya mengenai film "Journey to The Occupied Lands" sebenarnya dibantu oleh beberapa pihak, salah satunya teman saya, Geger Riyanto (alumnus sosiologi Universitas Indonesia). Geger sendiri bagi saya lebih mengerti dan luas pengetahuannya dibanding saya, termasuk mengenai konflik Israel-Palestina. Ia juga sempat menorehkan pendapatnya mengenai film dokumenter ini dan menurut saya apa yang ia tulis juga merupakan suatu inspirasi tersendiri. Sebagai ucapan terima kasih dan rasa penghargaan saya, maka saya post saja tulisannya. Selamat menikmati :D

--------

Tanah, Senjata, dan Air Mata

Tanggapan atas film “Journey to the Occupied Lands”

They [Arab-Palestinian] are stateless at home.”

—Michael Ambrosino

1

Di lingkungan kita, Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar, menyebut Israel sebagai sebuah negara akan banyak mengundang perdebatan. Gus Dur menghadapi banyak kecaman ketika hendak membuka hubungan diplomatik dengan negara Israel yang pada saat itu dipimpin oleh kawannya, Yitzak Rabin.

Tujuh dekade setelah administrasi kenegaraan Zionis berdiri di atas Palestina, sejumlah negara enggan mengakui kedaulatan Israel sebagai sebuah negara. Kepala negara seperti Ahmadinejad pun bahkan dengan blak-blakan kerap mengumbar pernyataan kontroversial berkenaan dengan Israel; misal, pernyataan untuk menghapus Israel dari peta dunia dan meragukan holocaust, dua pernyataan yang kemudian dinyatakan oleh para pejabat Iran telah disalahtafsirkan publik internasional.

Film “Journey to the Occupied Lands” sebenarnya dapat dikatakan sebagai suatu perdebatan tentang eksistensi negara Israel—yang ini diangkat dari sisi kehidupan para warga negaranya sendiri. Sebagai sebuah negara modern, karakteristik birokrasi di Israel amatlah berat sebelah, berperilaku etnosentris, apalagi untuk persoalan tanah yang menjadi hajat kehidupan penting bagi warganya—mengutip sastrawan Mark Twain, “Buy land, they are not making it anymore.”

2

Michael Ambrosino, produser dan pembawa film ini, mengajak kita untuk melihat bagaimana pemerintahan militeristik Israel, atas nama keamanan dan stabilitas, mengambil alih wilayah-wilayah strategis milik orang Arab yang tinggal di bawah wilayah kekuasaannya. Sepotong adegan memperlihatkan bagaimana seorang prajurit, berselempangkan senjata, menendang dagangan wanita Arab.

Keluarga-keluarga Arab diperlakukan dengan tidak adil. Tiba-tiba saja tanah atau rumah mereka dapat diambil oleh warga Yahudi yang mempunyai sertifikat atas wilayah mereka—dan mereka biasa didampingi oleh tentara ketika harus mengusir orang-orang Arab dari rumahnya. Mengajukan perkara semacam di pengadilan Israel yang didominasi oleh para militer Yahudi bagi warga Arab seperti berteriak ke hadapan tembok yang tak akan menjawab. Seorang pengacara Yahudi bahkan bertestimoni, hukum Israel memperkenankan pengadilan untuk menggunakan kesaksian seseorang yang diinterogasi dengan tekanan-tekanan fisik. Mengurus sertifikat tanah pun menjadi proses yang amat rumit bagi orang-orang Arab.

Padahal, di bawah periode mandat Inggris (1923-1948), hak-hak warga Arab atas tanahnya tetap dijaga, tak bisa dibandingkan dengan pada masa administrasi militer Israel di mana aneksasi terjadi pada taraf yang amat masif. Para politisi sayap kiri Israel merasa apa yang dilakukan negaranya ini tidak benar. Mereka merasa negara ini sedang memelihara konflik dan menanam benih-benih kekerasan berkepanjangan. “Bagaimana bisa engkau hidup berdampingan [serumah] dengan orang yang kau ambil alih rumahnya?” tanya pembawa film ini kepada seorang Yahudi yang baru mengambil sebagian rumah yang tadinya milik warga Arab. Tetapi orang-orang kiri Israel menghadapi para pejabat konservatif yang mengatasnamakan keamanan warga Yahudi—keselamatan, menurut mereka, tak bisa dikompromikan dengan kedamaian.

Tanah, sekali lagi, merupakan hajat hidup yang amat vital. Di beberapa bagian film kita disajikan potret para pemuda Arab yang sehari-harinya diperlakukan seperti kriminal oleh tentara negara yang berjaga di mana-mana. Padahal, mereka hanya warga biasa yang hendak pergi bekerja. Para pemuda Arab yang tampak terkatung-katung sebagai kerumunan buruh ini merupakan potret dari warga Arab yang kehilangan tanah mereka.

Palestinian Nationalism Has Left the Field, penelitian Tamir Sorek tentang nasionalisme dan sepak bola warga Arab di wilayah Israel, menjelaskan, setelah perang Israel-Arab 1948, orang-orang Arab kehilangan tanahnya dan terkatung-katung menjadi kelas petani tanpa lahan. Secara ekonomi, mereka sangat rentan dan lemah, hanya punya tenaga sebagai modalnya untuk bekerja. Pada tahun 50an dan 60an, federasi buruh Israel membuka tim-tim sepak bola di wilayah-wilayah rural tempat tinggal orang Arab. Menjadi pesepakbola di tim-tim tersebut lantas menjadi mimpi para pemuda Arab yang tak memiliki banyak kesempatan di atas tanah air mereka sendiri yang dikuasai kalangan Yahudi.

Film ini juga menggali arti berharga tanah di mata warga Yahudi—kelompok penguasa—dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dilematis kepada sekumpulan warga Yahudi yang dihimpun Ambrosino. Apakah mereka tidak merasa bersalah menempati dengan paksa tanah yang sebelumnya telah ditinggali lama oleh orang-orang Arab? Ada yang menjawab, kami yang punya hak legal atas tanah ini, ada pula yang menjawab dengan enteng dan agak berang, orang-orang Arab itu seharusnya tinggal di negara lain, mereka akan mempunyai kehidupan yang lebih baik di sana. Salah seorang warga Yahudi yang dihimpun Ambrosino bahkan meninggalkan kehidupan yang baik di Amerika untuk tinggal di tanah Israel, “akarnya,” ujar si orang Yahudi. Arti penting tanah semakin dilambungkan dengan sentimen keagamaannya.

Betapapun begitu, menurut Oren Yiftachel, pengamat tata kota dari Ben Gurion University, Israel bukanlah demokrasi. Ia adalah etnokrasi. Narasi kelompok etnis penguasalah yang mendapatkan tempat. Bisa dikatakan, agak menyerupai apartheid. Dalam sistem apartheid yang diterapkan di Afrika Selatan selama beberapa dekade, kepemilikan modal dan jabatan-jabatan penting dijauhkan dari warga kulit hitam. Warga kulit hitam yang secara jumlah merupakan mayoritas menjadi minoritas di negara tersebut.

3

Kembali ke “Journey to the Occupied Lands”. Hal yang penting diperhatikan adalah film ini diproduksi pada tahun 1993, di saat Timur Tengah berada di penghujung perubahan; pada akhir tahun itu, perjanjian Oslo ditandatangani. PLO (Palestine Liberation Organization), yang hingga tahun 1991 masih dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Israel, mengakui hak Israel untuk hidup dengan damai. Yasser Arafat, pimpinan PLO, setelah kesepakatan Oslo menjadi kepala wilayah otoritas Palestina yang ditetapkan mencakup Gaza dan Tepi Barat (kembali ke batas sebelum pencaplokan pada tahun 1967).

Selain itu, film ini ditayangkan pertama kali di AS dan, tentu, untuk pemirsa AS. Ambrosino dari awal menekankan bagaimana uang para pembayar pajak dihabiskan untuk membantu administrasi militer Israel. Kegusaran bahwa miliaran dolar uang mereka dihabiskan untuk konflik di Timur Tengah telah berkembang lama di antara warga Amerika, bahkan teori lobi canggih dan konspirasi Yahudi berkembang di sejumlah kelompok warga.

Banyak perkembangan signifikan yang terjadi setelah film ini selesai dibuat. Tembok pemisah yang terkenal itu dibangun oleh pemerintah Israel dengan tujuan menjamin keselamatan warganya dan membelah wilayah Israel dengan Palestina. Aneksasi tetap terus terjadi. Pembatasan wilayah yang ketat menghambat pertumbuhan ekonomi di Palestina. Jalur-jalur distribusi dan perdagangan terus diawasi dengan ketat oleh Israel, memperkeruh keadaan ekonomi warga Palestina yang masih bergantung pada bantuan internasional.

Sebagai komentar, “Journey to the Occupied Lands” memberikan suatu gambaran yang miris dan riil tentang konflik tanah di sebuah negara militeristik yang ditinggali oleh dua bangsa. Bangsa yang satu menindas yang lain. Kekeraskepalaan yang berkuasa tak akan bisa dipertemukan dengan hajat hidup yang lain. Dan perdamaian jauh dari kata mudah. Tanah digambarkan dalam film ini dengan cuplikan-cuplikan kisah nyata dan mendarah daging sebagai sumber daya yang tak tergantikan, bahkan oleh rasa kemanusiaan.

Dan terakhir, kita sebut nama Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel kelima. Pemimpin dan—menurut beberapa kalangan—salah satu putra terbaik Israel ini dibunuh oleh seorang warga Yahudi berhaluan sayap kanan radikal karena peran sertanya yang memungkinkan berdirinya wilayah administrasi Palestina pada 1993. Begitulah.

Journey to The Occupied Lands - Antara Modernisasi dan Etnokrasi



Adalah sebuah kerumitan jika berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina. Masalahnya tidak pernah lepas dari hak milik suatu wilayah di sekitar kedua negara ini. Banyak warga Israel yang menganggap tanah Palestina adalah milik mereka. Ia adalah tempat yang diyakini telah dijanjikan untuk kesejahteraan mereka. Ide ini juga didukung oleh Liga Bangsa-Bangsa dengan terbentuknya British Mandate of Palestine setelah Perang Dunia I . Dilanjutkan dengan adanya usaha pembagian wilayah di Palestina menjadi a Jewish state, an Arab state and a UN-controlled territory di sekitar Jerussalem setelah Perang Dunia II. Banyak yang menolak namun tidak sedikit pula yang mendukung. Usaha pembagian wilayah ini berujung pada pertengkaran antara Yahudi dan Arab yang kemudian memunculkan problematika mengenai legal-ilegal dalam membangun suatu tempat tinggal. Pergelutan ini pun seperti tiada akhir.

...the phenomenon of informality can be the product of a multitude of forces, including but not limited to the logic of capital. In Israel, in furtherance of the politics of an ethno-nation, planning has been used as an instrument of ethnic control. Thus, urban informality is “created” for the purpose of marginalizing, excluding, and impeding the development of an entire ethnic subpopulation”.[1]

Urban informality memang memiliki banyak pengertian, salah satunya adalah seperti yang disampaikan Oren Yiftachel dan Haim Yacobi di atas. Hal ini juga diilustrasikan oleh “Journey to The Occupied Lands”, sebuah film dokumenter mengenai okupasi Israel terhadap lahan Palestina. Di film ini dideskripsikan bagaimana informalitas terfokus tidak hanya pada permasalahan negara berkembang, seperti kapitalisme atau neo-liberalisme, tetapi juga kontrol etnis. Marjinalisasi yang terjadi disebabkan oleh etnokrasi, yaitu rezim dimana etnisitas, bukan kewarganegaraan, adalah logika utama yang digunakan untuk mengalokasi suatu sumber daya negara dan disertai adanya kelompok etnis yang mendominasi kebijakan publik.[2] Di dalam hal ini tentu yang mendominasi kebijakan publik tersebut adalah kaum yahudi Israel, sehingga informalitas menjadi salah satu cara Israel meluaskan teritorinya, pelan tapi pasti.

Yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana perkembangan tempat tinggal kaum yahudi Israel dan pengaruhnya pada warga Palestina. Apakah informalitas yang terjadi juga berupa modernisasi, seperti informalitas yang terjadi di negara dunia ketiga lainya?

Pada tulisannya yang berjudul “Urban Informality as a “New” Way of Life”, Nezar AlSayyad sempat membubuhkan pendapatnya mengenai tulisan Yiftachel dan Yakobi terkait informalitas di kawasan timur tengah ini:

“Here the “legal” expropriation of nearly all Arab land by the state has meant that, despite holding Israeli citizenship, most Arabs have lost all rights to land. In this way Arab areas are deprived of basic development and planning authority, creating massive informality”.[3]

Pernyataan di atas mungkin dapat dilihat perwujudannya pada perkembangan urban di kota Lod yang dibahas oleh Haim Yacobi pada “Architecture, Orientalism, and Identity: The Politics of The Israeli-Built Environement”. Pada tahun 1948 kota ini diokupasi. Para rakyat Palestina yang tadinya menetap terpaksa pergi atau dideportasi. Pada tahun 1950 kota ini hanya memiliki 9% rakat Palestina. Sementara sisanya adalah imigran yahudi: 50% dari Polandia, Romania, dan Bulgaria, 50% sisanya lagi dari Morocco,Tunisia, Turki, dan Iraq.[4]

Walaupun pada akhirnya didominasi oleh kaum Yahudi, perkembangan kota Lod bisa dibilang lambat. Para imigran tersebut lebih memilih hidup pas-pasan dengan sisa-sisa tempat tinggal warga Palestina sebelumnya dibanding membangun pabrik atau menciptakan mata pencaharian baru. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya modernisasi pada penataan kota itu. Pada tahun 1954 Michael Barr, seorang town planner membuat master plan di kota Lod tersebut. Plan yang dibuat Barr berupa pembagian kota menjadi unit-unit yang disatukan oleh jalanan dan taman tanpa mempedulikan existing bangunan yang sudah ada sebelumnya.


Lod Master Plan

(sumber: The Engineers and Architects Journal in Israel, 1954, vol.12.)

Di film “Journey to The Occupied Lands” juga sempat diilustrasikan bagaimana tempat tinggal kaum Yahudi meluas. Walaupun tidak ditonjolkan bagaimana kehidupan kaum diasporik pada awalnya, namun Ambrosino secara tidak langsung menunjukkan perkembangan modernisasi yang dibawa kaum Yahudi ke tanah Palestina. Ia meliput kawasan bernama Ariel yang bisa dibilang mewah dan dibangun untuk menarik perhatian kaum Yahudi di seluruh dunia. Diperlihatkan bagaimana fasilitas yang baik dan modern telah menarik perhatian keluarga-keluarga muda Yahudi namun dengan kontak yang jarang sekali terjadi antara mereka dengan warga Palestina di sekitar situ.


Ariel bak utopia bagi kaum Yahudi

(sumber: http://www.jewishjournal.com/)

Ariel was planed from the beginning to become a city with 50.000 inhabitants... since 1977... this is the place on which was the first government decision to build only on the government’s own (land) or state’s own land so they had to change the whole plan...

- Plea Albeck, Deputy minister of justice

Baik apa yang dideskripsikan Yacobi mengenai kota Lod maupun hasil wawancara Ambrosino menunjukkan modernisasi yang tercipta karena kedatangan kaum Yahudi adalah satu bentuk etnokrasi. Michael Barr membuat plan yang secara terang-terangan hendak menghilangkan image kota sebelumnya, begitu pula plan Ariel. Plea Albeck bahkan sempat mengemukakan pendapatnya mengenai dasar kelegalan lahan Ariel seperti ini: “It does not have the ownership but it has the right to use it”.

Sementara modernisasi ini terus berlanjut, banyak kaum Arab yang tersingkirkan. Di film ini pun sempat diperlihatkan kekerasan yang diberikan pihak militer Israel pada warga Palestina. Sekalipun dilakukan berbagai upaya untuk mencapai kedamaian, target itu tidak akan pernah tercapai karena adanya keputusan yang berat sebelah dan untuk menghilangkannya tentu perlu peninjauan lebih pada kaum yang termarjinalisasi, seperti yang terkutip dari Oren Yiftachel:

The government should, therefore, adopt more egalitarian policies and address the social, economic and political problems of the periphery. Without such changes, the urgently needed reconciliation between Jews and Palestinians, in their common homeland, is likely to face more obstacles.[5]



[1] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 21.

[2] Oren Yifthacel, “Israeli Society and Jewish-Palestinian Reconciliation: 'Ethnocracy' and Its Territorial Contradictions”, The Middle East Journal volume 1, No.4 (1997), hlm. 507.

[3] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, Op.Cit.

[4] Haim Yacobi, “Architecture, Orientalism, and Identity: The Politics of The Israeli-Built Environement”, Israel Studies volume 13, no.1, hlm. 98.

[5] Oren Yifthacel, Op.Cit., hlm. 519.

03/11/10

sapa pagi

Apabila romansa pagimu ialah terhidang susu hangat

dan beberapa potong roti.

Romansa pagiku ialah tersuguhnya sebuah gunung menjulang,

dan terjal mengerucut,

dan riuh akan kabut.


Aku tapaki jalan setapaknya yang curam ... nian menanjak.

Kepada lembahnya, Aku berkata, "tunggu, puncakku!"


Dan kabut perlahan turun.

Menyentuh kulit ariku yang rapuh.


Di puncaknya, Aku berteriak untukmu,

"Aku mencintaimu."



---
Amri Mahbub Al-Fathon, 2010




you have given me jitters...
amorously..yes



29/10/10

saling ikat kata (Kabut dan Embun)

"Daun..." | "Daun yang basah..."

"basah dan lembab, selayak hutan Alengka..." | "hutan Alengka yang hening dalam kelabu..."

"Kelabu itu hamil, seraya melahirkan selaput-selaput kabut" | "Kabut pun berlari kecil, menari bersama embun..."

"Embun berkata riang kepada kabut "aku ingin terus bersamamu, Kabut. Berlari kecil seperti ini atau..." | ""atau menari bersama dalam tenang", potong Kabut. "Biarkan raga bergerak halus...""

" "...bergerak sebagaimana mestinya, biarkan kehendak jiwanya." Kabut dan Embun..." | "(Kabut dan Embun) berjinjit kecil. Merentangkan jemarinya di udara. Meraih-raih angin yang melayang di atas mereka."

"
Mereka pula mengejarnya; berlari, berusaha merobek waktu dan tirani. Apakah hanya..." | "...hanya perlu menari, berlari, berjinjit untuk berbahagia? Sementara angin.."

"...telah terbang jauh meninggalkan Kabut dan Embun. Kini mereka terlihat lelah, lelah seada-adanya. "Ada yang sebenarnya harus ku...." " |" "....Kuberikan padamu." ucap Embun seraya berayun di atas rumput."

"Rumput yang sama dibelai oleh Kabut. Kemudian, "apakah gerangan itu, duhai Embun" " | "Embun tersenyum. Seketika ia berdiri dan ambil posisi. Ia menjatuhkan diri, menghempas di atas batu. Percikannya berikan pelangi"

"(pelangi) pada kabut yang terperangah dan berdecak kagum. Terpana. "Akankah pelangi ini untukku, duhai Embun?" " | "Embun tak membalas. Batu telah meresapnya. Hening"

--
I'm placidly in love
Those words are not spoken
They're felt...

28/10/10

GOA-GOA-AN !


first project of Architecture Designing 3 ...
cheers~!