15/10/10

On Borrowed Land - Gejolak Informalitas Perkotaan di Negara Berkembang


Berbicara mengenai politik pemerintahan suatu negara pasti penuh gejolak. Ada kekelaman, ada pula kejayaan. Begitu pula di Filipina. Di dalam film ini dijelaskan bagaimana pemerintahan pada masa Corazon Aquino, Manila menjadi kota yang krisis. Meskipun telah terlepas dari pemerintahan diktator Ferdinand Marcos, janji yang terucap dari revolusi “People’s Power” pada tahun 1986 tidak melepas problematika pemerintahan Filipina sendiri.

Pemerintahan Aquino mungkin memang menghendaki perhatian khusus terhadap kemiskinan dan menghormati kebebasan sipil. Hal ini terlihat dari revitalisasi institusi demokratis dan banyaknya warga yang merasa diberi harapan darinya. Namun, kenyataannya setelah revolusi “People’s Power” tersebut, kemiskinan tidak terhapus, bahkan makin meruak dengan munculnya shanty atau gubuk-gubuk yang menampung orang miskin di sepanjang pinggiran pantai teluk Manila.

Film dokumenter “On Borrowed Land” mendeskripsikan kontradiksi yang terjadi antara kemauan pemerintah dan apa yang didapat oleh warganya dengan latar belakang kota Manila yang sedang berkembang. Di dalamnya terdapat gambaran betapa beratnya perjuangan para penduduk liar selaku subjek di dalam urban informal. Menonton film ini membuat saya bertanya mengenai hubungan antara urban informal dengan negara berkembang. Mengapa kedua hal tersebut menjadi hal yang tidak saling lepas?

Urban informal sendiri memiliki perkembangan makna yang cukup luas. Pengertiannya mencakup, tidak hanya bidang sosial, tapi juga ekonomi. Pada tahun 1970-an Caroline Moser mendeskripsikan sektor informal sebagai “the urban poor or as the people living in slums or squatter settlements[1]. Tetapi apa sebenarnya karakteristik pasti yang dapat membedakan formal dan informal? Apakah hanya sekedar melihat keberadaan orangnya yang kurang memadai? Keith Hart mencoba membedakan kedua hal tersebut dengan memberi jarak berdasarkan mata pencaharian dengan tingkat rasionalisasi dalam memberi pelayanan sebagai variabel. Secara spesifik Hart menganggap perkotaan ‘informal’ yang miskin sering kali berkaitan dengan kapitalisme, seperti yang terkutip dari buku “Urban Informality –Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”:

Hart noted that the “informal” (or traditional or underemployed) urban poor often enganged in petty capitalism as a substitute for the wage employment to which they were denied access[2]

Hart menjelaskan bahwa muncul cara-cara baru untuk memberi keuntungan pada individu di urban informal tersebut, namun ilegal. Dengan kata lain, yang membedakan sektor informal dan formal adalah kelegalan dalam mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika melihat kembali ke film “On Borrowed Land”, masalah kelegalan ini mungkin tidak hanya dalam pencarian nafkah saja, tetapi juga munculnya reclamation, yaitu semacam kota kecil bagi para penduduk liar yang kemudian menjadi pemicu munculnya konflik antara pemerintah dengan warga di dalamnya karena keinginan dari pihak pemerintah untuk menghilangkan citra yang miskin dari Filipina. Ironisnya, adanya shanty tersebut sebenarnya juga sebagai efek dari janji-janji yang diberikan Aquino pada rakyatnya, bahwa tidak ada lagi tirani dan rakyat sepenuhnya kekuatan dari pemerintahan itu sendiri, sehingga rakyat merasa memiliki hak untuk hidup di kawasan tersebut. “you can’t be a squatter in your own country,” ucap Nida Labnao, ketua kaum muda Kasama, sebuah organisasi yang menata reclamation agar terjadi peningkatan kondisi kehidupan di daerah tersebut.

Kontradiksi seperti ini memang sering terjadi di negara dunia ketiga. Sebenarnya apa yang hendak dicapai dari negara-negara berkembang tersebut, sehingga urban informality muncul dan memberikan konflik seperti yang ditunjukkan pada film ini? Di dalam tulisannya yang berjudul “Urban Informality as a “New” Way of Life”, Nezar AlSayyad memaparkan sedikit mengenai observasi urban informality yang dilakukan Arif Hasan di Karachi, Pakistan yang ternyata urban informality berhubungan juga dengan liberalisasi, seperti yang terkutip berikut ini:

Hasan’s observations show that in some parts of the world, liberalization has resulted in the emergence of a First World economy and sociology with a Third World wage and political structure[3]

Di Pakistan efek liberalisasi ini terlihat dari banyaknya warga yang meskipun sudah bekerja di sektor formal, mereka tetap membuat pekerjaan baru yang informal. Menurut Hasan hal ini dikarenakan liberalisasi telah meningkatkan inflasi, sehingga mendorong orang-orang untuk mencari sumber pendapatan yang lebih. Tidak hanya itu, liberalisasi juga memberikan dampak pada bidang politik. Penduduk liar di Pakistan biasanya bertempat tinggal di lahan yang harganya murah, sehingga letaknya jauh dari pusat kota. Jadi agar dapat hidup dengan usaha mereka yang informal, penduduk liar di Pakistan secara tidak langsung memberikan jarak untuk berpartisipasi lebih di politik pemerintahannya.

Di Filipina sendiri bentuk liberalisasi ini terlihat dari penduduk liar yang membuat usaha-usaha kecil seperti kantin untuk pekerja bangunan yang ada di dekat tempat tinggal mereka, menjahit, dan sebagainya. Mereka memang berasal dari luar kota Manila, namun mereka tidak bisa kembali ke tempat asalnya karena kekurangan uang. Di saat yang bersamaan mereka juga berharap bisa hidup lebih baik di kota. Tidak heran jika adanya organisasi seperti Kasama membuat mereka berharap lebih dan memberi jarak dengan pemerintah.

Baik Filipina maupun Pakistan, keduanya memiliki target yang sama, yaitu menjadi negara yang maju seperti negara first world (dan tentunya dengan ‘bantuan’ negara dunia pertama sendiri). Begitu pula negara-negara dunia ketiga lainnya, tak terkecuali Indonesia. Jika di film “On Borrowed Land” keinginan menjadi maju tersebut terlihat dari target pemerintah untuk membangun “Asia World City” dan menggusur reclamation¸di Pakistan terlihat dari hasrat populasinya untuk masuk ke dunia ‘kontemporer’[4] seperti yang digambarkan oleh media, sehingga meningkatlah konsumerisme yang disediakan oleh sektor informal sebagai jembatan antara kaum yang tidak mampu dengan kaum yang kaya. Kedua keinginan tersebut sepertinya tidak asing lagi di negeri kita sendiri.

Kembali ke pertanyaan awal saya, apa pemicu urban informality yang kerap kali muncul di negara berkembang, saya bisa tarik kesimpulan bahwa harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik telah menjadi motivasi bagi para penduduk untuk mempertaruhkan nasibnya ke kehidupan kota. Di saat yang sama kota, yang biasanya sebagai pusat pemerintahan, tidak memberikan keselarasan antara kebutuhan penduduknya dengan target atau citra yang ingin dicapai. Urban informality adalah sesuatu yang natural terjadi karena bagaimanapun ia menjadi bukti bahwa manusia harus bisa survive. Keinginan-keinginan yang hendak dicapai oleh kota, seperti menjadi modern, kontemporer, dan apapun itu yang telah tercitrakan dari negara dunia pertama terkadang menutupi kebutuhan dasar dari para penduduknya, sehingga munculah urban informal tersebut. Secara tidak langsung, liberalisasi dan globalisasi telah mempengaruhi bentuk tata kota di negara dunia ketiga.

“On Borrowed Land” telah memberi teguran pada kita bahwa diperlukan keseimbangan dan kecermatan dalam membangun tata ruang kota, seperti yang saya kutip dari buku “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment” :

Environmental design is concerned with achieving a balance between human-made physical creativity and the reciprocal influence of natural forces.”[5]

Jika hanya sekedar mengejar target agar menjadi apa yang dianggap baik, maka kota, khususnya di negara berkembang, hanya akan menjadi wadah kontradiksi antara yang kaya dan yang miskin, legal dan ilegal, formal dan informal.



[1] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 10.

[2] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, loc.cit.

[3] Ibid., hlm. 16

[4] Diambil dari istilah yang digunakan oleh Nezar AlSayyad sendiri, yaitu “contemporary” dalam buku “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”. Arti “contemporary” yang saya tangkap dalam tulisannya adalah yang sedang dianggap trendy.

[5] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 17.

4 komentar:

  1. identifikasi masalah ya?
    ada solusi mungkin?

    "jika hanya sekedar mengejar target agar menjadi apa yang dianggap baik, maka kota, khususnya di negara berkembang, hanya akan menjadi wadah kontradiksi antara yang kaya dan yang miskin, legal dan ilegal, formal dan informal."

    lalu bagian yang gw kutip di atas, setiap pembangunan pasti punya standarnya, yes? kalau, katakanlah, kita harus membangun dan mendesain berdasarkan "a balance between human-made physical creativity and the reciprocal influence of natural forces" ini, patokan riilnya apa? kita kan gak bisa mengawang dan berabstrak ria kalo udah masalah perencanaan, apalagi kalo udah ke keuangannya.

    ya, keuangan dan utopia. menurut gw ini adalah 2 hal yang gak akan pernah bisa akur. di keuangan di kenal istilah return dan value. seberapa banyak sih pembangunan akan memberikan return kepada kita? seberapa besar valuenya?
    brengsek memang, ya, tapi inilah dunia.

    jadi pertanyaan gw ada dua:
    1. Standar/patokan riil pembangunan
    2. Bagaimana bisa berkompromi dengan kawan-kawan dari keuangan

    BalasHapus
  2. terima kasih atas komentar dan pertanyaannya, bung tomo.
    pada dasarnya yang menjadi 'utopia' di perkotaan adalah keseimbangan antara kebutuhan dasar manusia dan pertumbuhan kota itu sendiri. Uang mungkin memang tidak pernah 'akur' dengan 'utopia' itu sendiri tetapi bukan berarti kita harus terpaku pada permasalahan uang. Kota seharusnya menyediakan tempat bagi warganya untuk sekedar melupakan urusan uang itu, misalnya taman bermain, green space yang asik buat piknik,dsb..bukan mall dan tempat lain yang membuat kita menjadi konsumtif.

    standard itu sendiri tidak pernah ada yang pasti karena setiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Patokannya paling jangan melupakan 5 hasrat manusia (yg pernah saya sebut di post sebelumnya)

    bagaimana bisa kita berkompromi dgn kawan2 dari keuangan? Tanya kembali tujuan mereka mencari uang...hanya sekedar mendapatkan uang atau lebih? kalau mau lebih ingatkan kembali 5 hasrat manusia itu sendiri.
    hahahaha idealis gitu
    jujur, sih...masih belum tau cara berkompromi dgn mereka yang senang uang itu karena masih ga ngerti mereka nyari uang 'ampe segitunya' tuh untuk apa.
    makanya diskusi masalah liberalisasi inflasi dan hal2 ekonomi lainnya..hahahaha

    BalasHapus
  3. salah ya pertanyaan gw?
    keuangan itu bukan melulu orang yang nyari duit juga, tapi lebih kepada orang2 yang membuat perencanaan keuangan utk, katakanlah, anggaran pembangunan sebuah kota.
    kalau dibiarkan liar hip-hip-hurai tanpa standar gimana cara kita merencanakan budgetingnya?

    sekian terima kasih posting di fb aja sih

    BalasHapus
  4. kalau bertanya standar merencanakan budgeting, saya sendiri belum mengerti banyak. bagaimanapun saya hanya seorang mahasiswa arsitektur yang kurang paham mengenai ekonomi.

    mungkin saya perlu banyak baca mengenai hukum dan perundang-undangan pembangunan.

    yang perlu saya tekankan di sini adalah dalam merancang 5 hasrat manusia yg pernah saya jelaskan jangan sampai terlupakan dan tumpang tindih. itu aja, sih

    sekian dan terima kasih



    n.b: yg di fb menyusul, gan!

    BalasHapus