05/12/11

Alexander dan Cara Membangun yang Abadi


"Membangun" (building), pada dasarnya ialah sebuah proses yang menampung kegiatan merencana, merancang, dan merealisasikan apa yang telah direncana dan dirancang. Siapapun yang berkecimpung di dunia perancangan akan melihat proses ini sebagai perjalanan penuh tantangan dan perkiraan. Diperlukan kecermatan agar hasil kegiatan membangun bermanfaat. Di saat yang sama perubahan dan perkembangan metode pada ranah perancangan terus terjadi. Oleh karena itu, kerap kali kita bertanya adakah cara yang pasti dan terus relevan dengan perkembangan zaman dalam membangun sesuatu. Dan Christopher Alexander mencoba menjawab pertanyaan tersebut dalam The Timeless Way of Building.

...

baca lebih lanjut dengan mengunduh link berikut:

http://www.4shared.com/file/e8Q1zvLh/Sebuah_Kritik_Terhadap_The_Tim.html


--

selamat menikmati :)

09/10/11

Lembah dan Awan


Aku menari di atas gelombang
Biru dan berayun lembut
Dalam renung mataku pada awan nun di atas sana
Ku temukan relung di atas lembah

Dan awan telah memayunginya,
Seperti hembusan napas dalam lengkung lengan
Seperti teduh dalam pandang yang beraduan
Seperti senyum tipis karena degup tak tertahankan
Seperti cinta yang menenangkan...

Alor, 2011.

18/07/11

Kisah Ketika Senja Tertidur

Di antara senja yang mulai sayup tertidur, kata dalam lembar itu teruntai...
Dalam kelamnya mereka melebur bersama kerlip malam yang terurai.

Hempasan suaramu dalam nyanyian untaian kata adalah hayatan dalam benakku.
Di kala jingga telah menunduk, aku hanya terayun dalam buai senyummu

Mata memberang
Merah membara
Siapa sangka cinta dan benci sebenarnya saling bergandengan
Berpelukan dalam buai pertengkaran dan senggama kita

Wajah memerah
Pekik meninggi

Di antara tangis haru dan pilumu, hanya ada kalbu yang menderu!
Gerak-gerak yang kerap kali menyiksa..itulah Cinta!

Aku terduduk, menekuk tiap lekuk tulang-tulang punggungku

...

Kisah itu kisah yang kelam.. aku tahu.
Maka ku catat kala itu dalam hirupku:
"aku mencintai detik yang terletak di antara pilu dan pesona yang kau beri"

09/07/11

Tertelan Kekosongan

Meraba cinta adalah meraba kekosongan di dalam gelap

Riuh rendah detak jantungmu yang berbunyi

Hanya memberi pilu sekaligus takut pada telinga

Yang tertelan ketidakjelasan


Di sini aku berdiri

Meraba keberadaanmu dan membandingkannya

Dengan panjangnya urai detik yang telah kususun,

kuikat menjadi bukti yang sesungguhnya tidaklah berarti

...Bagimu, bagiku, atau bagi siapapun

Urai detik itu hanyalah bukti seberapa lama kakiku terseret

Di dalam gelap yang tak terjelaskan


Meraba cinta adalah meraba kekosongan di dalam gelap

Kesibukanmu mengejar detak jantungmu yang kencang

hanya memberi lelah dan desah

Dan keringatmu adalah kesia-siaan


Di sini aku berdiri

Meraba kehangatanmu

Di dalam gelap ini,

di dalam kesadaran betapa aku terseret begitu jauh,

Tidak pernah sekalipun aku menginginkan untuk keluar dari semua kekosongan itu

13/06/11

pembicaraan 'hot'

"Knowledge is power" - M. Foucault
-----------------------------------------

suatu sore di sebuah cafe...

Feby: Apa perbedaan "ilmu pengetahuan" (knowledge) dan "kesadaran" (consciousness)?

Amri:
knowledge dimiliki oleh semua orang, bahkan orang gila sekali pun. Sementara consciousness lebih mengarah ke individu persona


Satu sisi knowledge mempengaruhi kedua subjek tersebut. Di sisi lain kedua subjek tadi memiliki knowledge-nya sendiri. Knowledge bisa datang sendiri ataupun didatangkan.

Contoh:
Ada dua orang: yang 'sadar' dan yang 'tidak sadar' , duduk di satu bangku yang sama. Keduanya diberi rokok. Orang yang 'sadar' itu pasti punya pilihan pada rokok tersebut. Ia punya dua konvensi: membakaranya dan tidak membakarnya. Sementara orang yang 'tidak sadar' tidak memiliki refrensi yang sama ataupun tidak pernah punya refrensi apakah rokok tersebut akan dibakar ataupun tidak. Bisa saja nama benda silinder putih bak jari kelingking itu memiliki nama lain atau bukan "rokok".

Dari contoh tersebut dapat dilihat dua hal yang mempengaruhi bentuk knowledge yang dimiliki kedua subjek tadi:
1) perbedaan konvensi
2) state of affair
perbedaan sudut pandang pada image yang ada

semua hal itu knowledge, tetapi beda subjek berarti beda pula image knowledge-nya
Di sini kita melihat consciousness sebagai kata benda, sementara knowledge lebih menyerupai kata sifat karena ada konteks di situ.

Feby: Kalau knowledge ada dimana-mana, berarti knowledge hanya bisa menjadi power kalau dalam keadaan conscious?

Amri: Bisa saja knowledge menjadi power di saat tidak ada consciousness

Feby: Bagi saya, kondisi conscious lebih memiliki kuasa (power) ketimbang kondisi unconscious

Amri: Berarti kamu masih meng-objek-kan subjek yang unconscious tadi

Feby: Hmm.. Kalau begitu, sepertinya kita perlu menelusuri dulu apa itu power

Amri: Apakah power hanya sekedar definisi dari pelaku 1 mempengaruhi pelaku 2?

Feby: Tidak. Saya meyakini makna power lebih luas dari itu

Contoh:
Seorang agen properti mempromosikan rumah kepada pembelinya dan memiliki kuasa akan hal itu. Akan tetapi, apakah agen properti tidak memiliki kuasa terhada dirinya sendiri? Di saat agen properti itu hanya 'manusia biasa', secara tidak sadar ia akan tetap melakukan hal-hal yang dilakukan oleh semua manusia, seperti makan, bernapas, dsb. Di posisi ini sang agen properti adalah subjek yang unconscious, tetapi masih punya kuasa akan dirinya sendiri karena tetap melakukan hal-hal seperti makan dan bernapas tadi.

Dari hal tersebut dapat dilihat power terbentuk menjadi dua: power atas orang lain dan power atas dirinya sendiri. Di keduanya power dapat dibentuk, maupun terbentuk.
Agen properti tadi mempunyai knowledge di bidangnya (state of affair), sehingga ia dapat membentuk kuasa saat mempromosikan rumah yang dijualnya. Namun, agen properti tetap berkuasa melakukan kegiatan makan dan bernapas karena hal tersebut sudah terbentuk secara alami.

JADI...
  • knowledge dimiliki oleh siapapun, baik yang 'sadar' ataupun 'tidak sadar'
  • kesadaran (consciousness) dapat dikatakan sebuah konvensi dari satu pihak saja karena adanya perbedaan state of affair tadi (??)
  • knowledge bagi yang 'sadar' ataupun yang 'tidak sadar' memiliki kuasa yang dapat dibentuk ataupun terbentuk.

contoh lain (intermezo):
Perbedaan knowledge memberi perbedaan konsepsi. Mereka yang tahu hubungan Morgan dan Garcia pasti tidak akan menoleh aneh seperti ibu-ibu di bawah ini.


yah, saya tahu saya terlalu obsesi dengan TV Show satu ini...baiklah....abaikan.

07/06/11

bawa yang berat ke yang ga berat

Hari ini saya jalan-jalan bersama teman-teman dan menemukan buku "Existentialism - A Brief Insight" karya T. Flynn. Selain judulnya yang sedikit mencolok bagi saya yang 'terjebak' di pemikiran Sartre, nuansa yang tampil di sampul depannya pun menarik untuk dilirik. Warna putih polos menjadi latar dari sebuah cangkir yang juga berwarna putih, berisikan cairan semacam cappuccino, dengan sendok kecil dan puntung rokok yang tergeletak di sisi bagian bawahnya. Kopi dan rokok memang lekat perannya bagi para pemikir. Sartre sendiri sering kali berdiskusi dan menumpahkan pemikirannya di cafe bersama kopi dan rokoknya. Hal tersebutlah yang memunculkan gambaran di kepala saya, bahwa pemikir-kopi-rokok adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Lucunya lagi ketika saya membuka buku tersebut, terpampanglah foto Sartre yang sedang duduk di ruang makan bersama rokok dan cangkir kopinya.

ini dia gambarnya, tapi Beauvoir (wanita di sebelah kiri) di-crop

Selain itu, sampul buku tersebut memberi kesan yang begitu casual dengan garis warna merah mudanya. Ya, merah muda! Saya sendiri terenyuh melihat warna merah muda yang begitu lembut itu menemani gambar cangkir, sendok, dan puntung rokok tadi. Sampul depan buku tersebut jelas-jelas membawa nuansa yang berbeda dengan buku-buku filsafat lainnya yang pernah saya baca. Biasanya sampul buku-buku filsafat itu menunjukan wajah sang filsuf dengan warna yang netral namun agak gelap, seperti coklat, kombinasi putih-biru, atau abu-abu. Sampul "Existentialism - A Brief Insight" tadi seolah-olah memberi pesan: "Big picture of philosopher on the cover of a philosophy book is so lame. No one wants to read it or even touch it. Give them pink and you'll see how hip it is"

buku "unyu~"

Ya...efeknya... saya jadi sangat tertarik untuk ngubek-ngubek isinya...
(Ternyata ga jauh beda sama buku-buku pengantar eksistensialisme lainnya.. :|)

Anyway, berhubung lagi ngomongin eksistensialisme yang tentunya tidak lepas dari seorang Sartre, saya jadi ingat tulisan saya yang berjudul "Negativitas Sartre dan Arsitektur Jembatan Teksas". Tulisan ini dibuat untuk acara diskusi yang diadakan oleh Astina (@AstinaAcademia) , tetapi dengan kesadaran penuh sepenuh-penuhnya, bahwa tulisan ini harus bermanfaat bagi mahasiswa arsitektur. Dengan kesadaran itu, saya memang sempat merasa kesulitan harus membawa pembahasan filsafat ke arsitektur. Saya bahkan memasukan beberapa gambar yang mengomunikasikan hasil pengamatan saya (seperti scoring, pengaruh angin, suara, dsb), mirip seperti yang saya dan teman-teman mahasiswa arsitektur UI lakukan untuk tugas perancangan. Saya rasa yang saya lakukan ini memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda dengan si pembuat sampul depan "Existentialism - A Brief Insight" tadi: memberi pencitraan yang ringan pada pembahasan yang berat.
Well, the good thing is more people would be attracted. The bad thing is...it's not as easy as changing dark colour into pink.

---
silakan diunduh hasil tulisan saya:
http://www.4shared.com/document/n7juNNSW/Negativitas_Sartre_dan_Arsitek.html

selamat menikmati :D

02/06/11

Gumam

beberapa bait puisi yang saya ciptakan untuk seorang sahabat, may rahmadi (@memacutjembul)...

awalnya tak berjudul, lalu "Gumam" saya taruh di atas karena sepertinya ini tidak lebih dari sekedar gumam dan imajinasi yang sekilas muncul, lalu pergi tanpa pamit.

---


seandainya tidak ada seandainya

seharusnya tidak ada seharusnya

sepertinya tidak ada sepertinya


jika saja berpura-pura sudah cukup

jika saja ketulusan sudah cukup

jika saja tidak ada keduanya sudah cukup

jika saja selalu ada kata cukup


seandainya tidak ada seandainya


karena saya melihat maka saya muntah

karena saya mendengar maka saya muntah

karena saya merasa maka saya muntah

karena saya muak akan semuanya maka saya muntah


seharusnya tidak ada seharusnya


jika ditelaah lagi saya adalah ini

jika ditelaah lagi dia adalah ini

jika ditelaah lagi mereka adalah ini

jika ditelaah lagi kita semua adalah itu


sepertinya tidak ada sepertinya

14/02/11

ah, alasan!

MENGAPA SAYA, SEORANG MAHASISWI ARSITEKTUR, BELAJAR “PERENCANAAN KOTA DAN WILAYAH”.

Jika ditanya alasan saya mengambil mata kuliah Perencanaan Kota dan Wilayah, saya akan memberitahukan ekspektasi saya saat pertama kali melihat iklannya di facebook: mata kuliah ini mungkin menjadi perantara dua mata kuliah yang saya ambil sebelumnya, yaitu City Power dan Perancangan Arsitektur 3. Kedua mata kuliah tersebut bertanggung jawab atas rasa penasaran saya mengenai kompleksnya permasalahan di kota. Meskipun City Power cenderung terasa jauh dari wilayah arsitektur, tetapi saya merasa ada sesuatu yang mengaitkannya dengan mata kuliah Perancangan Arsitektur 3. Mungkin, mata kuliah inilah pengait tersebut, yang kemudian dapat menjelaskan bagaimana arsitektur mempengaruhi kota dan elemen-elemen di dalamnya, termasuk power itu sendiri.

Terlepas dari spekulasi tersebut, saya juga bertanya-tanya mengenai posisi saya sebagai mahasiswi yang belajar perancangan (design) pada perencanaan kota dan wilayah. Apakah mata kuliah ini perlu saya ambil? Bagaimana sebenarnya keterkaitan perancangan dengan perencanaan kota dan wilayah?

Konsepsi “merancang” atau “desain” tentu berbeda dengan “merencanakan”. Dalam perkembangan maknanya pun “desain”, kata baku dari “design” dalam bahasa Indonesia, sebenarnya juga terkait dengan kata “rencana”. Pada tulisannya yang berjudul “Desain dan Merancangl; Penjelajahan Suatu Gagasan”, Gunawan Tjahjono menjabarkan:

“Sebagai kata kerja, ‘design’, berasal dari kata Prancis ‘desseing’ yang berarti tujuan/rencana. Dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan ejaan, antara yang bermakna seni (‘dessin’) dan yang tidak (‘dessein’); sedangkan perkembangannya dalam bahasa Inggris justru dipakai sebagai kata kerja, baik sebagai tujuan maupun rencana. Sejak itu telah berkembang pelbagai konsepsi di sekitar kata ‘design’ dalam pengertian “rencana”…”[1]

Dari uraian di atas bisa terlihat bahwa makna “design”, secara etimologis, memiliki batasan yang begitu tipis dengan “rencana”. Jika begitu tipisnya batasan makna antara “planning” dengan “design”, lalu mengapa ada perbedaan penggunaan dari kedua kata tersebut, seperti pembedaan pada “urban planning” dan “urban design”?

Pada tulisannya yang berjudul “Urban Planning Now: What Works, What Doesn’t?”, Jerold Kayden berpendapat bahwa “to plan is human, to implement, divine[2]. Pendapat ini ia ajukan pada pembahasannya mengenai program urban planning di Harvard. Di dalam program tersebut, mahasiswa dituntut untuk mengerti, menganalisa, dan mempengaruhi beraneka ragam kekuatan (forces), baik di ranah sosial, ekonomi, budaya, estetika, hingga teknologi, yang membentuk lingkung bangun (built environment). Kekuatan tersebut tentu tidak pula terlepas dari pengalaman yang dirasakan manusia di dalam lingkung bangun tersebut, baik secara individual mampun kolektif. Dengan kata lain urban planning mempelajari begitu banyak hal (bahkan mungkin meminjam hampir semua ilmu) yang bersangkutan pada hubungan antara manusia dan lingkung bangun.

Begitu luasnya ilmu yang dipelajari pada urban planning, tak disangkal jika arsitektur pun berperan di dalamnya. Bahkan, bisa dikatakan arsitektur memiliki pengaruh terbesar pada perubahan lingkung bangun. Arsitektur yang begitu pekat akan konsep keruangan tidak hanya menjadi bukti peradaban, tetapi juga memberi dampak secara psikologis. Ia tidak hanya berbicara mengenai berdirinya suatu bangunan, tetapi juga pengaruh pada manusia di dalamnya dan lingkungan sekitarnya. Jadi perancangan bangunan yang digeluti para arsitek juga turut membentuk lingkungan, termasuk di suatu kota atau wilayah. Bahkan, Frank Lloyd Wright, seorang arsitek modern, berkata: “The agent of the state in all matters of land allotment or improvement, or in matters affecting the harmony of the whole, is the architect[3].

Ada pula hal menarik mengenai “design” dan “planning” pada tulisan Wright yang berjudul “Broadacre City: A New Community Plan” dan tulisan Peter Calthorpe dan William Fulton yang berjudul “Designing the Region” dan “Designing the Region is Designing the Neighborhood”. Wright dengan sosoknya yang begitu dikenal sebagai arsitek berpikir bahwa kota ideal adalah kota yang menampung hak setiap orang atas tanah sebesar satu are. Ia tidak hanya memaparkannya melalui tulisan, tetapi juga model. Sementara Calthorpe dan Fulton membahas cukup mendalam mengenai hubungan suatu wilayah dengan lingkungan di dalamnya secara konseptual. Meskipun begitu, mereka juga menulis:

Too often we plan and engineer rather than design. Engineering tends to optimize isolated elements without regard for the larger system, whereas planning tends to be ambiguous, leaving the critical details of place making to chance. If we merely plan and engineer, we forfeit the possibility of developing a “whole system” approach or a “design” that recognizes the trade-offs between isolated efficiences and integrated parts.”[4]

Saya sendiri sebagai mahasiswi arsitektur merasa terbatasi dengan kemampuan saya untuk mengomunikasikan pemikiran saya dengan tulisan atau perhitungan statistik karena saya lebih terbiasa mengajukan ide dengan model, gambar, atau bentuk grafik lainnya. Terkadang hal ini membuat saya lupa pada sense yang akan timbul dari model yang saya ciptakan. Ini mengingatkan saya pada model Broadacre City yang diciptakan Wright. Karyanya bisa saja dinilai baik bagi mereka yang setuju dengan konsep ‘ideal’ yang dibawa Wright, tetapi bisa saja utopia ini membawa kerugian bagi orang yang tinggal di dalamnya, misalnya ketergantungan akan kendaraan karena perletakkan zona privat dan publik yang berjauhan. Oleh karena itu, seorang arsitek bagi saya tidak hanya “asik” dengan masalah berdirinya sebuah bangunan, tetapi juga perlu melihat secara menyeluruh serta mendalam, bergantian.

Kembali pada masalah pengertian urban planning dan urban design, saya pikir letak perbedaannya ada pada luas hal yang dipelajari. “To plan”, mengacu pada pengertian spontan Kayden, adalah sesuatu yang “ilahi” (divine), sehingga cakupan pembelajarannya bisa saja lebih luas dari “design”. Ia tidak hanya sekedar merancang (design), tetapi juga melihat keseluruhan jaringan yang tersangkut pada rancangan tersebut. Sementara Tjahjono juga menjelaskan bahwa desain menentukan (prescribe) apa dan bagaimana seharusnya segala sesuatu dijalankan, sehingga desain menghasilkan pengetahuan tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’[5]. Dengan kata lain, urban design juga bisa dianggap sebagai bentuk dari implementasi dari urban planning, sehingga ia lebih spesifik dari urban planning itu sendiri. Tentunya kedua hal ini saling berkaitan, sehingga mempelajari salah satunya tidak serta merta menutup mata untuk yang lainnya.

Sejauh yang saya dapat dari dua kali peretemuan di mata kuliah perencanaan kota dan wilayah ini saya belum bisa membuktikan apakah spekulasi awal saya benar atau tidak. Akan tetapi, saya yakin mata kuliah ini akan memberikan saya ilmu yang lebih luas mengenai urban. Jadi, apakah saya, sebagai mahasiswi perancangan, perlu mengambil mata kuliah ini? Ya, karena merancang bukan hanya soal hasil, tetapi juga proses dan dibutuhkan keterbukaan pada ilmu pengetahuan di dalamnya.



[1] Gunawan Tjahjono,Desain dan Merancang; Penjelajahan Suatu Gagasan”, Architrave edisi No.4, hlm. 56.

[2] Jerold Keyden,Urban Planning Now: What Works, What Doesn’t?”, Harvard Design Magazine No.22, 2005.

[3] Frank Lloyd Wright, “Broadacre City: A New Community Plan”, The City Reader third edition, Routledge, 2003, hlm. 327

[4] Peter Calthorpe & Willia Fulton, “Designing the Region” and “Designing the Region is Designing the Neighborhood”, The City Reader third edition, Routledge, 2003, hlm. 333

[5] Gunawan Tjahjono, Op.Cit., hlm. 57.

29/01/11

Kepala 2 dan Semester 6

Dan.............. liburan semester 5 pun selesai. Semester 6 sudah menanti dengan senyum penuh tantangannya. Semester ini saya mengambil tiga mata kuliah pilihan: Akustik, Geometri, dan Perencanaan Kota & Wilayah. Lagi-lagi tidak ada alasan khusus memilih tiga mata kuliah ini selain karena penasaran. Berarti ke depannya akan ada postingan mengenai mata kuliah tersebut.
Saya sebenarnya penasaran dengan topologi dan berharap mata kuliah geometri bisa memuaskan hasrat saya. Haha. Yah, apapun yang terjadi nanti saya menulis karena saya ingin melihat sejauh mana perkembangan saya dan saya akan sangat bersyukur jika tulisan saya banyak manfaatnya bagi yang membaca :)


Ah, iya...sebentar lagi umur saya 20. Entah mengapa saya sedikit merinding mengingat waktu yang berjalan begitu cepat....

13/01/11

JEMBATAN KAGET


second project of architecture designing 3
(remind me to edit it. it's lame!)

04/01/11

Kicau Kita Pada Alam




...

(1)
Mendengar suara alam tak sama dengan menyaksikan derap langkah yang tegap
Tak sama pula dengan suara detak dalam gugup...
Begitupun ujar anggrek yang bermekaran di sana.
Mereka mengamini kita yang tengah berbincang di sini...dengan alam


(2)
Di sini tak kutemukan mimpi

Mereka nyata dalam kicau burung
Dalam ruas daun pula tak berdusta kata kepada kata


(3)
Aku ingin membuka mata dan melihat daun terbias cahaya
Yang ditampiaskan ke pelupuk-pelupuk mata,dan dipeluk erat oleh angin
Tentunya ditemani genggaman kabut yang bergerak di sela jemariku


(4)
Apakah kita pernah bertanya kepada hamparan rumput yang menguning tentang makna hidup?
Tanyakan pada mereka bagaimana embun membuatnya tersipu malu
Dan daun-daun gugur pun dengan sabar menguning ditelan waktu..... ah, hidup!

...



-----
F.H.K - A.M.A
Kebun Raya Bogor, 4 Januari 2011