26/10/10

URBAN SPRAWL DAN PERAN INTERVENSI ARSITEKUR DI DALAMNYA

sumpah ini judul tersotoy yang pernah gw pake...bzzz.

yaudahlah baca aja klo mo baca..haha

-----

Kehidupan perkotaan (urban) adalah kehidupan yang kompleks karena biasanya menyangkut banyak komunitas dan etnis. Keberagaman memang menjadi kesatuan di dalamnya namun bukan dalam arti kekeluargaan. Ada sifat indivudalis dan materialis, seperti yang tercantum pada buku “Ethics and Urban Design”: “the city stressed individualism and private property rather than the communal system[1]. Dikarenakan minimnya kekeluargaan, keterikatan antar individu di kota bisa disebut kurang kuat, sehingga fraksi dan konflik lebih berpotensi untuk muncul.

Pada dasarnya manusia, sebagai individu, ketika memasuki suatu tatanan sosial akan menghadapi shock culture. Perbedaan kebiasaan dan sudut pandang menjadi hal yang harus ia hadapi agar ia bisa menjadi individu yang diterima di sosial tersebut. Di kota, beradaptasi dalam menghadapi shock culture tersebut mungkin lebih berat jika dibandingkan dengan di desa, mengingat adanya sifat individualis dan materialis tadi. Alhasil, timbul dua kelas: mereka yang berhasil beradaptasi dan yang tidak berhasil beradaptasi (masyrakat sub urban). Mereka yang berhasil beradaptasi mendominasi, sementara yang tak berhasil termarginalisasi.

Di negara berkembang, seperti Indonesia, masyarakat sub urban ini biasanya menciptakan sektor informal yang dapat menimbulkan konflik di tata ruang kota itu, seperti munculnya tempat tinggal liar, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Tak jarang sektor informal ini dianggap sebagai kawasan kumuh, sebagaimana yang didefinisikan Caroline Moser: “the urban poor or as the people living in slums or squatter settlements[2]. Sebagai kaum yang ‘terpinggirkan’, masyrakat sub urban ini biasanya mengisi ruang-ruang yang tersisa di kota. Dengan demikian muncul sektor yang ‘tidak diinginkan’, melahirkan apa yang sering disebut dengan urban sprawl, yaitu suatu kondisi lanskap dimana kota, sub urban, dan lahan terbuka terlarut menjadi satu, sehingga terjadi peleburan antara rumah, jalan, dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa, baik pusat kota ataupun ruang kosong di sekitarnya sudah tidak ada jarak [3].

Saya meyakini arsitektur memiliki peran dalam perubahan yang terjadi di tata ruang kota, termasuk di urban sprawl ini. Munculnya urban sprawl mungkin memang terjadi secara alami begitu saja, tetapi tidak berarti arsitektur tidak ambil andil di dalamnya. Intervensi yang terjadi di ruang tata kota, sengaja ataupun tidak, seharusnya menjadi sesuatu yang diperhatikan pula oleh arsitek karena apa yang dikreasikan arsitek kemudian tidak semata menghasilkan bangunan yang merepresentasikan pemiliknya, namun juga berpengaruh pada intervensi sebelumnya, yang kemudian juga mempengaruhi tatanan kehidupan di ruang kota.

Banyak pihak yang menganggap fenomena urban sprawl ini adalah sesuatu yang buruk. Munculnya ruang yang tidak direncanakan dengan baik dianggap merusak tata ruang kota, menimbulkan kondisi yang tidak harmonis antara keinginan mikro dengan keinginan makro. Contohnya, dibangunnya mall, kantor, bank, dan bangunan yang memfokuskan penggunanya pada pekerjaan dan tindak komersil lainnya, sehingga mengurangi lahan tempat tinggal, seolah-olah keinginan pihak bermodal lebih dipentingkan dibanding kebutuhan dasar seluruh penduduk. Adanya ketidakselarasan inilah yang membuat banyak orang sibuk memikirkan bagaimana cara menghilangkan urban sprawl. Di Jakarta sendiri adanya urban sprawl ini juga sering dipandang sinis oleh banyak pihak. Munculnya kontradiksi antara yang formal dan informal, legal dan ilegal, serta kumuh dan kaya, memunculkan kesenjangan sosial yang jelas.

Tidak hanya itu, urban sprawl juga disangkutpautkan dengan adanya ketergantungan penduduk pada transportasi[4]. Berjalan kaki dianggap kurang praktis, sehingga pemanfaatan pedestrian termasuk minim. Padahal pedestrian itu dapat menjadi tempat berinteraksi warga yang dapat memunculkan kepercayaan dan sense of belonging, sehingga perbedaan yang anda menjadi bentuk keragaman yang dirasakan bersama, seperti yang ditulis Jane Jacobs pada “Death and Life of Great American Cities”:

“....public contact at a local level- most of it fortuitous, most of it associated with errands, all of it metered by the person concerned and not thurst upon him by anyone- is a feeling for the public identity of people, a web of public respect and trust, and a resource in time of personal or neighborhood need.[5]

Melihat beberapa hal yang sudah terjabarkan di atas, urban sprawl, memiliki penekanan masalah pada keterasingan yang dirasakan penduduk karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kota itu dengan terpenuhnya kebutuhan dasar para warganya. Ditambah dengan individualitas dan materialitas yang kerap kali muncul di kehidupan urban, urban sprawl menjadi bentuk fisik lanskap yang tidak nyaman. Padahal sebenarnya urban sprawl juga membuktikan bahwa tujuan semua warga sama: mendapatkan kehidupan yang layak di kota, baik secara ekonomi maupun sosial.

Di bukunya yang berjudul “Architecture Must Burn”, Batsky menulis “Sprawl may be good. Sprawl may be our destiny. Sprawl is the physical manifestation of modernity[6]. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan apa yang telah saya jabarkan sebelumnya, tetapi sebagai arsitek kita tidak harus serta-merta menolak anggapan ini. Di samping kondisinya yang tidak manusiawi, sebenarnya ada permainan intervensi arsitektur yang sangat terlihat di urban sprawl karena perletakkan ruang-ruang di kota yang sudah melebur. Apakah permainan tersebut dianggap baik atau buruk, arsitek seharusnya dapat menilai dan memanfaatkannya. Setidaknya dibalik keburukan yang dirasakan dari urban sprawl tadi, terdapat sebuah lahan belajar atau tantangan bagi arsitek.

Soal permainan intervensi tadi, saya ambil contoh Jakarta yang punya banyak mall sekaligus rumah kumuh di pinggiran kali. Saya yang berasal dari kaum menengah ke atas tentu melihat mall sebagai salah satu tempat saya bersosialisasi sekaligus bukti bahwa saya ‘mampu dan berkecukupan’. Pada suatu hari saya pergi ke kampung Bukit Duri di bantaran kali Ciliwung. Saya yang terbiasa melihat mall sebagai wadah berinteraksi saya, maka ketika memasuki kampung Bukit Duri yang tidak ada kemewahan, tentu muncul rasa enggan, seolah-olah kampung itu telah mengalienasi saya. Ironisnya, itu hanya perasaan saya saja karena pada akhirnya penduduk di sekitar sana justru ramah dan tidak menolak kedatangan saya. Saya melihat bagaimana kehidupan rumah tangga para penduduk kampung Bukit Duri berinteraksi tanpa harus saling unjuk prestige. Sense yang saya rasakan lebih ramah jika saya melihat kembali gedung mall yang mewah disertai pengamanan. Sense inilah yang seharusnya bisa kita ulik lagi. Dengan kata lain, arsitek seharusnya bisa menciptakan intervensi yang menimbulkan sense ramah dan menyenangkan tanpa harus mengotak-ngotakkan satu zone dengan zone lain (yang terkadang justru memberikan gap). Jadi, daripada sibuk memikirkan bagaimana caranya menghilangkan urban sprawl tadi dan mencari bentuk utopia lainnya, lebih baik arsitek menalaah dan mengulik apa yang menjadi esensi dari ruang tata kota itu sendiri.

architecture must be a beautiful fire, the hearth at the center of a world around which we gather to tell the stories that weave our society together. It must capture the essence of fire’s explosive and transformative nature to turn the raw into the cooked, ore into steel and isolation into community. Instead of building fragments of an utopia we will never achieve, architecture must burn.[7]



[1] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 57.

[2] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 10.

[3] Aaron Betsky, “Architecture Must Burn”, Ginko Press, Inc., USA, 2000, hlm. 30.

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Urban_sprawl#Developments_characteristic_of_sprawl . Ada 4 karakteristik urban sprawl yang dijelaskan menurut sumber: single-use zoning, low-density zoning, car-dependent communities, job sprawl and spatial mismatch.

[5] Jane Jacobs, “Death and Life of Great American Cities”, Vintage Books, New York, 1961, hlm. 56.

[6] Aaron Batsky, Op.Cit.

[7] Ibid., hlm. 24.

1 komentar:

  1. saya meyakini essay ini perlu dikritis lebih dalam lagi ..
    klo dibaca2....ternyata sok tahu saya tingkat tinggi sekali ya saat menulis ini -_-

    BalasHapus