29/10/10

saling ikat kata (Kabut dan Embun)

"Daun..." | "Daun yang basah..."

"basah dan lembab, selayak hutan Alengka..." | "hutan Alengka yang hening dalam kelabu..."

"Kelabu itu hamil, seraya melahirkan selaput-selaput kabut" | "Kabut pun berlari kecil, menari bersama embun..."

"Embun berkata riang kepada kabut "aku ingin terus bersamamu, Kabut. Berlari kecil seperti ini atau..." | ""atau menari bersama dalam tenang", potong Kabut. "Biarkan raga bergerak halus...""

" "...bergerak sebagaimana mestinya, biarkan kehendak jiwanya." Kabut dan Embun..." | "(Kabut dan Embun) berjinjit kecil. Merentangkan jemarinya di udara. Meraih-raih angin yang melayang di atas mereka."

"
Mereka pula mengejarnya; berlari, berusaha merobek waktu dan tirani. Apakah hanya..." | "...hanya perlu menari, berlari, berjinjit untuk berbahagia? Sementara angin.."

"...telah terbang jauh meninggalkan Kabut dan Embun. Kini mereka terlihat lelah, lelah seada-adanya. "Ada yang sebenarnya harus ku...." " |" "....Kuberikan padamu." ucap Embun seraya berayun di atas rumput."

"Rumput yang sama dibelai oleh Kabut. Kemudian, "apakah gerangan itu, duhai Embun" " | "Embun tersenyum. Seketika ia berdiri dan ambil posisi. Ia menjatuhkan diri, menghempas di atas batu. Percikannya berikan pelangi"

"(pelangi) pada kabut yang terperangah dan berdecak kagum. Terpana. "Akankah pelangi ini untukku, duhai Embun?" " | "Embun tak membalas. Batu telah meresapnya. Hening"

--
I'm placidly in love
Those words are not spoken
They're felt...

28/10/10

GOA-GOA-AN !


first project of Architecture Designing 3 ...
cheers~!



26/10/10

URBAN SPRAWL DAN PERAN INTERVENSI ARSITEKUR DI DALAMNYA

sumpah ini judul tersotoy yang pernah gw pake...bzzz.

yaudahlah baca aja klo mo baca..haha

-----

Kehidupan perkotaan (urban) adalah kehidupan yang kompleks karena biasanya menyangkut banyak komunitas dan etnis. Keberagaman memang menjadi kesatuan di dalamnya namun bukan dalam arti kekeluargaan. Ada sifat indivudalis dan materialis, seperti yang tercantum pada buku “Ethics and Urban Design”: “the city stressed individualism and private property rather than the communal system[1]. Dikarenakan minimnya kekeluargaan, keterikatan antar individu di kota bisa disebut kurang kuat, sehingga fraksi dan konflik lebih berpotensi untuk muncul.

Pada dasarnya manusia, sebagai individu, ketika memasuki suatu tatanan sosial akan menghadapi shock culture. Perbedaan kebiasaan dan sudut pandang menjadi hal yang harus ia hadapi agar ia bisa menjadi individu yang diterima di sosial tersebut. Di kota, beradaptasi dalam menghadapi shock culture tersebut mungkin lebih berat jika dibandingkan dengan di desa, mengingat adanya sifat individualis dan materialis tadi. Alhasil, timbul dua kelas: mereka yang berhasil beradaptasi dan yang tidak berhasil beradaptasi (masyrakat sub urban). Mereka yang berhasil beradaptasi mendominasi, sementara yang tak berhasil termarginalisasi.

Di negara berkembang, seperti Indonesia, masyarakat sub urban ini biasanya menciptakan sektor informal yang dapat menimbulkan konflik di tata ruang kota itu, seperti munculnya tempat tinggal liar, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Tak jarang sektor informal ini dianggap sebagai kawasan kumuh, sebagaimana yang didefinisikan Caroline Moser: “the urban poor or as the people living in slums or squatter settlements[2]. Sebagai kaum yang ‘terpinggirkan’, masyrakat sub urban ini biasanya mengisi ruang-ruang yang tersisa di kota. Dengan demikian muncul sektor yang ‘tidak diinginkan’, melahirkan apa yang sering disebut dengan urban sprawl, yaitu suatu kondisi lanskap dimana kota, sub urban, dan lahan terbuka terlarut menjadi satu, sehingga terjadi peleburan antara rumah, jalan, dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa, baik pusat kota ataupun ruang kosong di sekitarnya sudah tidak ada jarak [3].

Saya meyakini arsitektur memiliki peran dalam perubahan yang terjadi di tata ruang kota, termasuk di urban sprawl ini. Munculnya urban sprawl mungkin memang terjadi secara alami begitu saja, tetapi tidak berarti arsitektur tidak ambil andil di dalamnya. Intervensi yang terjadi di ruang tata kota, sengaja ataupun tidak, seharusnya menjadi sesuatu yang diperhatikan pula oleh arsitek karena apa yang dikreasikan arsitek kemudian tidak semata menghasilkan bangunan yang merepresentasikan pemiliknya, namun juga berpengaruh pada intervensi sebelumnya, yang kemudian juga mempengaruhi tatanan kehidupan di ruang kota.

Banyak pihak yang menganggap fenomena urban sprawl ini adalah sesuatu yang buruk. Munculnya ruang yang tidak direncanakan dengan baik dianggap merusak tata ruang kota, menimbulkan kondisi yang tidak harmonis antara keinginan mikro dengan keinginan makro. Contohnya, dibangunnya mall, kantor, bank, dan bangunan yang memfokuskan penggunanya pada pekerjaan dan tindak komersil lainnya, sehingga mengurangi lahan tempat tinggal, seolah-olah keinginan pihak bermodal lebih dipentingkan dibanding kebutuhan dasar seluruh penduduk. Adanya ketidakselarasan inilah yang membuat banyak orang sibuk memikirkan bagaimana cara menghilangkan urban sprawl. Di Jakarta sendiri adanya urban sprawl ini juga sering dipandang sinis oleh banyak pihak. Munculnya kontradiksi antara yang formal dan informal, legal dan ilegal, serta kumuh dan kaya, memunculkan kesenjangan sosial yang jelas.

Tidak hanya itu, urban sprawl juga disangkutpautkan dengan adanya ketergantungan penduduk pada transportasi[4]. Berjalan kaki dianggap kurang praktis, sehingga pemanfaatan pedestrian termasuk minim. Padahal pedestrian itu dapat menjadi tempat berinteraksi warga yang dapat memunculkan kepercayaan dan sense of belonging, sehingga perbedaan yang anda menjadi bentuk keragaman yang dirasakan bersama, seperti yang ditulis Jane Jacobs pada “Death and Life of Great American Cities”:

“....public contact at a local level- most of it fortuitous, most of it associated with errands, all of it metered by the person concerned and not thurst upon him by anyone- is a feeling for the public identity of people, a web of public respect and trust, and a resource in time of personal or neighborhood need.[5]

Melihat beberapa hal yang sudah terjabarkan di atas, urban sprawl, memiliki penekanan masalah pada keterasingan yang dirasakan penduduk karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kota itu dengan terpenuhnya kebutuhan dasar para warganya. Ditambah dengan individualitas dan materialitas yang kerap kali muncul di kehidupan urban, urban sprawl menjadi bentuk fisik lanskap yang tidak nyaman. Padahal sebenarnya urban sprawl juga membuktikan bahwa tujuan semua warga sama: mendapatkan kehidupan yang layak di kota, baik secara ekonomi maupun sosial.

Di bukunya yang berjudul “Architecture Must Burn”, Batsky menulis “Sprawl may be good. Sprawl may be our destiny. Sprawl is the physical manifestation of modernity[6]. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan apa yang telah saya jabarkan sebelumnya, tetapi sebagai arsitek kita tidak harus serta-merta menolak anggapan ini. Di samping kondisinya yang tidak manusiawi, sebenarnya ada permainan intervensi arsitektur yang sangat terlihat di urban sprawl karena perletakkan ruang-ruang di kota yang sudah melebur. Apakah permainan tersebut dianggap baik atau buruk, arsitek seharusnya dapat menilai dan memanfaatkannya. Setidaknya dibalik keburukan yang dirasakan dari urban sprawl tadi, terdapat sebuah lahan belajar atau tantangan bagi arsitek.

Soal permainan intervensi tadi, saya ambil contoh Jakarta yang punya banyak mall sekaligus rumah kumuh di pinggiran kali. Saya yang berasal dari kaum menengah ke atas tentu melihat mall sebagai salah satu tempat saya bersosialisasi sekaligus bukti bahwa saya ‘mampu dan berkecukupan’. Pada suatu hari saya pergi ke kampung Bukit Duri di bantaran kali Ciliwung. Saya yang terbiasa melihat mall sebagai wadah berinteraksi saya, maka ketika memasuki kampung Bukit Duri yang tidak ada kemewahan, tentu muncul rasa enggan, seolah-olah kampung itu telah mengalienasi saya. Ironisnya, itu hanya perasaan saya saja karena pada akhirnya penduduk di sekitar sana justru ramah dan tidak menolak kedatangan saya. Saya melihat bagaimana kehidupan rumah tangga para penduduk kampung Bukit Duri berinteraksi tanpa harus saling unjuk prestige. Sense yang saya rasakan lebih ramah jika saya melihat kembali gedung mall yang mewah disertai pengamanan. Sense inilah yang seharusnya bisa kita ulik lagi. Dengan kata lain, arsitek seharusnya bisa menciptakan intervensi yang menimbulkan sense ramah dan menyenangkan tanpa harus mengotak-ngotakkan satu zone dengan zone lain (yang terkadang justru memberikan gap). Jadi, daripada sibuk memikirkan bagaimana caranya menghilangkan urban sprawl tadi dan mencari bentuk utopia lainnya, lebih baik arsitek menalaah dan mengulik apa yang menjadi esensi dari ruang tata kota itu sendiri.

architecture must be a beautiful fire, the hearth at the center of a world around which we gather to tell the stories that weave our society together. It must capture the essence of fire’s explosive and transformative nature to turn the raw into the cooked, ore into steel and isolation into community. Instead of building fragments of an utopia we will never achieve, architecture must burn.[7]



[1] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 57.

[2] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 10.

[3] Aaron Betsky, “Architecture Must Burn”, Ginko Press, Inc., USA, 2000, hlm. 30.

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Urban_sprawl#Developments_characteristic_of_sprawl . Ada 4 karakteristik urban sprawl yang dijelaskan menurut sumber: single-use zoning, low-density zoning, car-dependent communities, job sprawl and spatial mismatch.

[5] Jane Jacobs, “Death and Life of Great American Cities”, Vintage Books, New York, 1961, hlm. 56.

[6] Aaron Batsky, Op.Cit.

[7] Ibid., hlm. 24.

23/10/10

ya! zine-ah!

mau bikin zine yg kvlt banget, deh...~

15/10/10

On Borrowed Land - Gejolak Informalitas Perkotaan di Negara Berkembang


Berbicara mengenai politik pemerintahan suatu negara pasti penuh gejolak. Ada kekelaman, ada pula kejayaan. Begitu pula di Filipina. Di dalam film ini dijelaskan bagaimana pemerintahan pada masa Corazon Aquino, Manila menjadi kota yang krisis. Meskipun telah terlepas dari pemerintahan diktator Ferdinand Marcos, janji yang terucap dari revolusi “People’s Power” pada tahun 1986 tidak melepas problematika pemerintahan Filipina sendiri.

Pemerintahan Aquino mungkin memang menghendaki perhatian khusus terhadap kemiskinan dan menghormati kebebasan sipil. Hal ini terlihat dari revitalisasi institusi demokratis dan banyaknya warga yang merasa diberi harapan darinya. Namun, kenyataannya setelah revolusi “People’s Power” tersebut, kemiskinan tidak terhapus, bahkan makin meruak dengan munculnya shanty atau gubuk-gubuk yang menampung orang miskin di sepanjang pinggiran pantai teluk Manila.

Film dokumenter “On Borrowed Land” mendeskripsikan kontradiksi yang terjadi antara kemauan pemerintah dan apa yang didapat oleh warganya dengan latar belakang kota Manila yang sedang berkembang. Di dalamnya terdapat gambaran betapa beratnya perjuangan para penduduk liar selaku subjek di dalam urban informal. Menonton film ini membuat saya bertanya mengenai hubungan antara urban informal dengan negara berkembang. Mengapa kedua hal tersebut menjadi hal yang tidak saling lepas?

Urban informal sendiri memiliki perkembangan makna yang cukup luas. Pengertiannya mencakup, tidak hanya bidang sosial, tapi juga ekonomi. Pada tahun 1970-an Caroline Moser mendeskripsikan sektor informal sebagai “the urban poor or as the people living in slums or squatter settlements[1]. Tetapi apa sebenarnya karakteristik pasti yang dapat membedakan formal dan informal? Apakah hanya sekedar melihat keberadaan orangnya yang kurang memadai? Keith Hart mencoba membedakan kedua hal tersebut dengan memberi jarak berdasarkan mata pencaharian dengan tingkat rasionalisasi dalam memberi pelayanan sebagai variabel. Secara spesifik Hart menganggap perkotaan ‘informal’ yang miskin sering kali berkaitan dengan kapitalisme, seperti yang terkutip dari buku “Urban Informality –Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”:

Hart noted that the “informal” (or traditional or underemployed) urban poor often enganged in petty capitalism as a substitute for the wage employment to which they were denied access[2]

Hart menjelaskan bahwa muncul cara-cara baru untuk memberi keuntungan pada individu di urban informal tersebut, namun ilegal. Dengan kata lain, yang membedakan sektor informal dan formal adalah kelegalan dalam mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika melihat kembali ke film “On Borrowed Land”, masalah kelegalan ini mungkin tidak hanya dalam pencarian nafkah saja, tetapi juga munculnya reclamation, yaitu semacam kota kecil bagi para penduduk liar yang kemudian menjadi pemicu munculnya konflik antara pemerintah dengan warga di dalamnya karena keinginan dari pihak pemerintah untuk menghilangkan citra yang miskin dari Filipina. Ironisnya, adanya shanty tersebut sebenarnya juga sebagai efek dari janji-janji yang diberikan Aquino pada rakyatnya, bahwa tidak ada lagi tirani dan rakyat sepenuhnya kekuatan dari pemerintahan itu sendiri, sehingga rakyat merasa memiliki hak untuk hidup di kawasan tersebut. “you can’t be a squatter in your own country,” ucap Nida Labnao, ketua kaum muda Kasama, sebuah organisasi yang menata reclamation agar terjadi peningkatan kondisi kehidupan di daerah tersebut.

Kontradiksi seperti ini memang sering terjadi di negara dunia ketiga. Sebenarnya apa yang hendak dicapai dari negara-negara berkembang tersebut, sehingga urban informality muncul dan memberikan konflik seperti yang ditunjukkan pada film ini? Di dalam tulisannya yang berjudul “Urban Informality as a “New” Way of Life”, Nezar AlSayyad memaparkan sedikit mengenai observasi urban informality yang dilakukan Arif Hasan di Karachi, Pakistan yang ternyata urban informality berhubungan juga dengan liberalisasi, seperti yang terkutip berikut ini:

Hasan’s observations show that in some parts of the world, liberalization has resulted in the emergence of a First World economy and sociology with a Third World wage and political structure[3]

Di Pakistan efek liberalisasi ini terlihat dari banyaknya warga yang meskipun sudah bekerja di sektor formal, mereka tetap membuat pekerjaan baru yang informal. Menurut Hasan hal ini dikarenakan liberalisasi telah meningkatkan inflasi, sehingga mendorong orang-orang untuk mencari sumber pendapatan yang lebih. Tidak hanya itu, liberalisasi juga memberikan dampak pada bidang politik. Penduduk liar di Pakistan biasanya bertempat tinggal di lahan yang harganya murah, sehingga letaknya jauh dari pusat kota. Jadi agar dapat hidup dengan usaha mereka yang informal, penduduk liar di Pakistan secara tidak langsung memberikan jarak untuk berpartisipasi lebih di politik pemerintahannya.

Di Filipina sendiri bentuk liberalisasi ini terlihat dari penduduk liar yang membuat usaha-usaha kecil seperti kantin untuk pekerja bangunan yang ada di dekat tempat tinggal mereka, menjahit, dan sebagainya. Mereka memang berasal dari luar kota Manila, namun mereka tidak bisa kembali ke tempat asalnya karena kekurangan uang. Di saat yang bersamaan mereka juga berharap bisa hidup lebih baik di kota. Tidak heran jika adanya organisasi seperti Kasama membuat mereka berharap lebih dan memberi jarak dengan pemerintah.

Baik Filipina maupun Pakistan, keduanya memiliki target yang sama, yaitu menjadi negara yang maju seperti negara first world (dan tentunya dengan ‘bantuan’ negara dunia pertama sendiri). Begitu pula negara-negara dunia ketiga lainnya, tak terkecuali Indonesia. Jika di film “On Borrowed Land” keinginan menjadi maju tersebut terlihat dari target pemerintah untuk membangun “Asia World City” dan menggusur reclamation¸di Pakistan terlihat dari hasrat populasinya untuk masuk ke dunia ‘kontemporer’[4] seperti yang digambarkan oleh media, sehingga meningkatlah konsumerisme yang disediakan oleh sektor informal sebagai jembatan antara kaum yang tidak mampu dengan kaum yang kaya. Kedua keinginan tersebut sepertinya tidak asing lagi di negeri kita sendiri.

Kembali ke pertanyaan awal saya, apa pemicu urban informality yang kerap kali muncul di negara berkembang, saya bisa tarik kesimpulan bahwa harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik telah menjadi motivasi bagi para penduduk untuk mempertaruhkan nasibnya ke kehidupan kota. Di saat yang sama kota, yang biasanya sebagai pusat pemerintahan, tidak memberikan keselarasan antara kebutuhan penduduknya dengan target atau citra yang ingin dicapai. Urban informality adalah sesuatu yang natural terjadi karena bagaimanapun ia menjadi bukti bahwa manusia harus bisa survive. Keinginan-keinginan yang hendak dicapai oleh kota, seperti menjadi modern, kontemporer, dan apapun itu yang telah tercitrakan dari negara dunia pertama terkadang menutupi kebutuhan dasar dari para penduduknya, sehingga munculah urban informal tersebut. Secara tidak langsung, liberalisasi dan globalisasi telah mempengaruhi bentuk tata kota di negara dunia ketiga.

“On Borrowed Land” telah memberi teguran pada kita bahwa diperlukan keseimbangan dan kecermatan dalam membangun tata ruang kota, seperti yang saya kutip dari buku “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment” :

Environmental design is concerned with achieving a balance between human-made physical creativity and the reciprocal influence of natural forces.”[5]

Jika hanya sekedar mengejar target agar menjadi apa yang dianggap baik, maka kota, khususnya di negara berkembang, hanya akan menjadi wadah kontradiksi antara yang kaya dan yang miskin, legal dan ilegal, formal dan informal.



[1] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 10.

[2] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, loc.cit.

[3] Ibid., hlm. 16

[4] Diambil dari istilah yang digunakan oleh Nezar AlSayyad sendiri, yaitu “contemporary” dalam buku “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”. Arti “contemporary” yang saya tangkap dalam tulisannya adalah yang sedang dianggap trendy.

[5] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 17.