26/12/10

Rindu Kami PadaMu

Rindu Kami PadaMu – Ilustrasi Kehidupan Rakyat Kecil di Kota Besar


Di negara berkembang, kawasan kumuh sering kali menghiasi gedung-gedung tinggi nan mewah. Perkampungan yang menampung rakyat kelas menengah ke bawah menyebar di sela-sela tingginya gedung pencakar langit. Pemandangan ironis ini kerap kali menjadi bukti kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh tidak meratanya kesejahteraan. Bagi beberapa pihak di kelas menengah ke atas, kehidupan di kampung itu bagai jauh tersembunyi, bahkan sering kali dilupakan, entah sengaja atau tidak. Bagaimanapun sifat individualis memang sering kali mewarnai kehidupan perkotaan, seperti yang terujar oleh Golany: “the city stressed individualism and private property rather than the communal system”.[1]



“Rindu Kami PadaMu” adalah sebuah film yang bercerita tentang kehidupan perkampungan di Jakarta. Ia berkisah tentang tiga anak kecil: Rindu, Asih, dan Bimo. Ketiganya memiliki kerinduan yang mendalam akan cinta. Rindu, seorang gadis kecil yang sulit untuk berbicara, merindukan kehadiran kakaknya yang terpisah olehnya karena penggusuran. Asih, seorang anak perempuan yang tidak pernah melepaskan sajadah milik ibunya, berharap ibunya akan datang ketika sajadah itu tergelar. Sementara Bimo, seorang bocah lelaki yang sehari-harinya membantu kakaknya berjualan telur, merindukan sosok ibunya yang telah tiada entah sejak kapan. Berlatarkan nuansa menuju lebaran, film ini memberikan pemandangan lain dari kehidupan perkotaan yang kerap kali terpaku pada riuh jalanan besar dan derap kaki yang sibuk bekerja.

Beberapa hal yang kiranya menarik untuk diperhatikan dari film ini adalah kehidupan warga yang beragam, namun tetap solid dan trauma Rindu akan penggusuran. Apa yang dideskripsikan film ini mengenai sebagian kecil kota Jakarta tentu bertentangan dengan argumen Golany di atas. Beberapa adegan di film ini justru tidak memperlihatkan sisi individualis masyarakat kota, misalnya ketika seorang gadis hendak bunuh diri karena merasa tidak disayang oleh ayahnya, warga sekitar langsung turut membantu dengan berbagai cara.

Meskipun nilai kebersamaan justru hadir di dalamnya, wilayah perkampungan seperti ini tetap saja dianggap informal, sehingga sering kali berakhir pada penggusuran. Penggusuran juga kerap kali mengatasnamakan ketertiban dan pembangunan. Ia menjadi salah satu cara untuk ‘urban redevelopment’ agar terjadi pembaruan.[2]

Mengingat tujuan penggusuran tersebut, ada baiknya dilihat kembali bagaimana perkampungan di kota dapat tercipta. Sering kali kondisi seperti ini karena adanya citra yang dianggap baik dari orang luar kota besar pada kehidupan urban. Gambaran ini tipikal sebenarnya, seperti yang dideskripsikan di artikel “Patterns of Development on The Metropolitan Fringe” :rural migrants move into urban fringe areas as one step in a progressive rural-to-urban migration process, creating…. A temporary holding location…”.[3] Dengan kata lain, informalitas tidak dapat terlepas dari kehidupan rural-urban. Ia menjadi bukti adanya ketimpangan kesejahteraan pada mereka yang kemudian memunculkan urban informality. Dari sini yang seharusnya kita pertanyakan adalah mengapa mereka tidak bisa hidup selayak mereka yang digolongkan menengah ke atas?

Negara dunia ketiga sering kali memiliki citra yang ingin dicapai dari gambaran yang telah dipampang oleh negara dunia pertama. Citra inilah yang kemudian mendorong terjadinya modernisasi dan seringnya tidak menyebar secara merata ke pelosok kota. Bisa kita lihat bagaimana kota lebih modern pada bagian pusatnya saja, sementara mereka yang hidup di pinggiran atau perkampungan justru terlupakan. Tak urung gaya hidup masyarakat menengah ke atas pun cenderung mengikuti gaya hidup di negara dunia pertama, sementara rakyat ‘kampung’ justru termarjinalisasi:

Globalization and its subsequent economic liberalization simply strengthen the domination of the ‘center’ beyond the national boundary. The peripheries, that is, remote areas in the archipelago and urban kampung settlement, remain untouched”[4]

Lalu apakah penggusuran kemudian benar-benar dapat menghapuskan image kumuh pada bagian-bagian termarjinalisasikan kota sementara citra negara dunia pertama terus dikejar? Kiranya bagian inilah yang kemudian disentil oleh “Rindu Kami PadaMu” kepada masyarakat kota di berbagai kalangan manapun. Kehidupan rakyat kecil yang begitu penuh cinta dan kebersamaan menyadarkan kita, bahwa terkadang kita perlu melihat kembali apa yang ada di sekitar kita dan sejenak menolehkan kepala dari citra negara dunia pertama.


[1] Gideon S. Golany, “Ethics & Urban Design – Culture, Form, and Environment”, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1995, hlm. 57.

[2] Triatno Yudo Harjoko, “PENGGUSURAN OR EVICTION IN JAKARTA: Solution Lacking Resolution for Urban Kampung”, hal. 18 (sumber: http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/Harjoko-T-ASAA2004.pdf)

[3] John O. Browder, James R. Bohland, and Joseph L. Scarpaci, “Patterns of Development on the Metropolitan Fringe”, Journal of the American Planning Association, 1995, hal. 304.

[4] Triatno Yudo Harjoko , Op.Cit., hal.22.

20/12/10

setelah petang itu...


"aku tidak ingin melepas pakaianku karena ada sisa pelukmu di sana."

"aku pun tak ingin demikian. Biarlah angin yang membawa suara-suaraku padamu."

"ku yakini suara itu kian merdu hingga untuk beberapa saat ku terdiam membisu..."

"...dan tetaplah dalam bisikan suara itu--meskipun dengan perlahan. Resapi tiap jumput kata yang terucap."

"..."
---
FHK - AMA

18/12/10

Carol Masuk Kamar Pria

ini beberapa line dari twit saya (@dursala) pada tanggal 17 Desember 2010.. terinspirasi dari "teori paradoks masyarakat/kebudayaan" yang digagas oleh Amri dan saya:


  1. Carol masuk kamar teman prianya. Numpang mandi.. tahu2 ada yang mengetuk kamar kos2an temannya itu. "MAS, BUKA!!"
  2. "Sebentar" si pria sedang asyik menulis skripsi, sepertinya. Carol buka baju di kamar mandi. Asik membasuh luka cakarnya..pelan-pelan
  3. "NGAPAIN, MAS!? BUKA WOY!" | "SIAPA, SIH?!" | pintu terbuka dan rentetan cerewet ibu-ibu mengalir. Carol berdendang kecil di kamar mandi
  4. "Mas ngapain di dalam?" | "ngetik!"| "klo ngetik knp bukanya lama bgt?" | "Saya ga suka lg nulis terus diganggu!" | Carol membasahi dirinya
  5. "Ceweknya td msk ke kamar?" | "iya. knp?" | "ngapain, mas? mas bs saya usir klo ngapa2in lho!" | Carol mendengar bagian itu. Tersinggung
  6. "Terus cweknya dimana sekarang?" | "lagi mandi!" | "Mandi kok di tempat laki-laki" | Carol benar-benar tersinggung. Ia keluar tanpa handuk
  7. "Kalau saya numpang kamar mandi di tempat ibu, boleh? Kenalan dulu, deh. Saya Carol. Ibu?" | Sang ibu berjilbab itu kaget.
  8. Si pria menutup muka. Memijit2 dahinya. Entah apa kata tetangga nanti. Yang pasti si ibu berjilbab sedikit mundur melihat tubuh Carol
  9. "Bu, kok diam aja?" | "Kamu wanita murahan!!!" | "Hah? Kok gitu?" Carol melongo seiring ibu2 itu pergi dengan rasa jijik.
  10. "Carol, lu tuh telanjang! Masih pake nanya "kok gitu?"| "Oh. iya. lupa pake handuk." | Carol msk ke kmr mandi, berdendang lagi
  11. Esoknya ketika Carol ke kos itu lagi ia mendengar bisik-bisik. Setiap bisik itu datang, luka cakarnya makin menyayat...
  12. Carol ikuti bisik-bisik itu..."darimana datangnya ya?"| "Iya. namanya Carol, jeng!" | "Carol..macam bule aja. Dsr murahan."
  13. Dua ibu2 sedang bergunjing. Carol menahan tawanya ketika mendengar dugaan2 mrk: bule, murahan, jalang, pelacur, pecinta seks, nafsuan
  14. Suatu hari Carol datang dengan jilbab...pas ada pengajian di dekat tempat si ibu2 tinggal. Carol membaca Quran dengan indah dan syahdu
  15. Semenjak itu, bisik-bisik hilang. Dugaan hanya satu: CAROL TOBAT. Begitulah. Carol pun tak pernah kembali lagi. Ia mencuri jilbab si ibu2