14/02/11

ah, alasan!

MENGAPA SAYA, SEORANG MAHASISWI ARSITEKTUR, BELAJAR “PERENCANAAN KOTA DAN WILAYAH”.

Jika ditanya alasan saya mengambil mata kuliah Perencanaan Kota dan Wilayah, saya akan memberitahukan ekspektasi saya saat pertama kali melihat iklannya di facebook: mata kuliah ini mungkin menjadi perantara dua mata kuliah yang saya ambil sebelumnya, yaitu City Power dan Perancangan Arsitektur 3. Kedua mata kuliah tersebut bertanggung jawab atas rasa penasaran saya mengenai kompleksnya permasalahan di kota. Meskipun City Power cenderung terasa jauh dari wilayah arsitektur, tetapi saya merasa ada sesuatu yang mengaitkannya dengan mata kuliah Perancangan Arsitektur 3. Mungkin, mata kuliah inilah pengait tersebut, yang kemudian dapat menjelaskan bagaimana arsitektur mempengaruhi kota dan elemen-elemen di dalamnya, termasuk power itu sendiri.

Terlepas dari spekulasi tersebut, saya juga bertanya-tanya mengenai posisi saya sebagai mahasiswi yang belajar perancangan (design) pada perencanaan kota dan wilayah. Apakah mata kuliah ini perlu saya ambil? Bagaimana sebenarnya keterkaitan perancangan dengan perencanaan kota dan wilayah?

Konsepsi “merancang” atau “desain” tentu berbeda dengan “merencanakan”. Dalam perkembangan maknanya pun “desain”, kata baku dari “design” dalam bahasa Indonesia, sebenarnya juga terkait dengan kata “rencana”. Pada tulisannya yang berjudul “Desain dan Merancangl; Penjelajahan Suatu Gagasan”, Gunawan Tjahjono menjabarkan:

“Sebagai kata kerja, ‘design’, berasal dari kata Prancis ‘desseing’ yang berarti tujuan/rencana. Dalam perkembangan selanjutnya timbul perbedaan ejaan, antara yang bermakna seni (‘dessin’) dan yang tidak (‘dessein’); sedangkan perkembangannya dalam bahasa Inggris justru dipakai sebagai kata kerja, baik sebagai tujuan maupun rencana. Sejak itu telah berkembang pelbagai konsepsi di sekitar kata ‘design’ dalam pengertian “rencana”…”[1]

Dari uraian di atas bisa terlihat bahwa makna “design”, secara etimologis, memiliki batasan yang begitu tipis dengan “rencana”. Jika begitu tipisnya batasan makna antara “planning” dengan “design”, lalu mengapa ada perbedaan penggunaan dari kedua kata tersebut, seperti pembedaan pada “urban planning” dan “urban design”?

Pada tulisannya yang berjudul “Urban Planning Now: What Works, What Doesn’t?”, Jerold Kayden berpendapat bahwa “to plan is human, to implement, divine[2]. Pendapat ini ia ajukan pada pembahasannya mengenai program urban planning di Harvard. Di dalam program tersebut, mahasiswa dituntut untuk mengerti, menganalisa, dan mempengaruhi beraneka ragam kekuatan (forces), baik di ranah sosial, ekonomi, budaya, estetika, hingga teknologi, yang membentuk lingkung bangun (built environment). Kekuatan tersebut tentu tidak pula terlepas dari pengalaman yang dirasakan manusia di dalam lingkung bangun tersebut, baik secara individual mampun kolektif. Dengan kata lain urban planning mempelajari begitu banyak hal (bahkan mungkin meminjam hampir semua ilmu) yang bersangkutan pada hubungan antara manusia dan lingkung bangun.

Begitu luasnya ilmu yang dipelajari pada urban planning, tak disangkal jika arsitektur pun berperan di dalamnya. Bahkan, bisa dikatakan arsitektur memiliki pengaruh terbesar pada perubahan lingkung bangun. Arsitektur yang begitu pekat akan konsep keruangan tidak hanya menjadi bukti peradaban, tetapi juga memberi dampak secara psikologis. Ia tidak hanya berbicara mengenai berdirinya suatu bangunan, tetapi juga pengaruh pada manusia di dalamnya dan lingkungan sekitarnya. Jadi perancangan bangunan yang digeluti para arsitek juga turut membentuk lingkungan, termasuk di suatu kota atau wilayah. Bahkan, Frank Lloyd Wright, seorang arsitek modern, berkata: “The agent of the state in all matters of land allotment or improvement, or in matters affecting the harmony of the whole, is the architect[3].

Ada pula hal menarik mengenai “design” dan “planning” pada tulisan Wright yang berjudul “Broadacre City: A New Community Plan” dan tulisan Peter Calthorpe dan William Fulton yang berjudul “Designing the Region” dan “Designing the Region is Designing the Neighborhood”. Wright dengan sosoknya yang begitu dikenal sebagai arsitek berpikir bahwa kota ideal adalah kota yang menampung hak setiap orang atas tanah sebesar satu are. Ia tidak hanya memaparkannya melalui tulisan, tetapi juga model. Sementara Calthorpe dan Fulton membahas cukup mendalam mengenai hubungan suatu wilayah dengan lingkungan di dalamnya secara konseptual. Meskipun begitu, mereka juga menulis:

Too often we plan and engineer rather than design. Engineering tends to optimize isolated elements without regard for the larger system, whereas planning tends to be ambiguous, leaving the critical details of place making to chance. If we merely plan and engineer, we forfeit the possibility of developing a “whole system” approach or a “design” that recognizes the trade-offs between isolated efficiences and integrated parts.”[4]

Saya sendiri sebagai mahasiswi arsitektur merasa terbatasi dengan kemampuan saya untuk mengomunikasikan pemikiran saya dengan tulisan atau perhitungan statistik karena saya lebih terbiasa mengajukan ide dengan model, gambar, atau bentuk grafik lainnya. Terkadang hal ini membuat saya lupa pada sense yang akan timbul dari model yang saya ciptakan. Ini mengingatkan saya pada model Broadacre City yang diciptakan Wright. Karyanya bisa saja dinilai baik bagi mereka yang setuju dengan konsep ‘ideal’ yang dibawa Wright, tetapi bisa saja utopia ini membawa kerugian bagi orang yang tinggal di dalamnya, misalnya ketergantungan akan kendaraan karena perletakkan zona privat dan publik yang berjauhan. Oleh karena itu, seorang arsitek bagi saya tidak hanya “asik” dengan masalah berdirinya sebuah bangunan, tetapi juga perlu melihat secara menyeluruh serta mendalam, bergantian.

Kembali pada masalah pengertian urban planning dan urban design, saya pikir letak perbedaannya ada pada luas hal yang dipelajari. “To plan”, mengacu pada pengertian spontan Kayden, adalah sesuatu yang “ilahi” (divine), sehingga cakupan pembelajarannya bisa saja lebih luas dari “design”. Ia tidak hanya sekedar merancang (design), tetapi juga melihat keseluruhan jaringan yang tersangkut pada rancangan tersebut. Sementara Tjahjono juga menjelaskan bahwa desain menentukan (prescribe) apa dan bagaimana seharusnya segala sesuatu dijalankan, sehingga desain menghasilkan pengetahuan tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’[5]. Dengan kata lain, urban design juga bisa dianggap sebagai bentuk dari implementasi dari urban planning, sehingga ia lebih spesifik dari urban planning itu sendiri. Tentunya kedua hal ini saling berkaitan, sehingga mempelajari salah satunya tidak serta merta menutup mata untuk yang lainnya.

Sejauh yang saya dapat dari dua kali peretemuan di mata kuliah perencanaan kota dan wilayah ini saya belum bisa membuktikan apakah spekulasi awal saya benar atau tidak. Akan tetapi, saya yakin mata kuliah ini akan memberikan saya ilmu yang lebih luas mengenai urban. Jadi, apakah saya, sebagai mahasiswi perancangan, perlu mengambil mata kuliah ini? Ya, karena merancang bukan hanya soal hasil, tetapi juga proses dan dibutuhkan keterbukaan pada ilmu pengetahuan di dalamnya.



[1] Gunawan Tjahjono,Desain dan Merancang; Penjelajahan Suatu Gagasan”, Architrave edisi No.4, hlm. 56.

[2] Jerold Keyden,Urban Planning Now: What Works, What Doesn’t?”, Harvard Design Magazine No.22, 2005.

[3] Frank Lloyd Wright, “Broadacre City: A New Community Plan”, The City Reader third edition, Routledge, 2003, hlm. 327

[4] Peter Calthorpe & Willia Fulton, “Designing the Region” and “Designing the Region is Designing the Neighborhood”, The City Reader third edition, Routledge, 2003, hlm. 333

[5] Gunawan Tjahjono, Op.Cit., hlm. 57.