28/11/10

Journey to The Occupied Lands - Antara Modernisasi dan Etnokrasi



Adalah sebuah kerumitan jika berbicara mengenai konflik Israel dan Palestina. Masalahnya tidak pernah lepas dari hak milik suatu wilayah di sekitar kedua negara ini. Banyak warga Israel yang menganggap tanah Palestina adalah milik mereka. Ia adalah tempat yang diyakini telah dijanjikan untuk kesejahteraan mereka. Ide ini juga didukung oleh Liga Bangsa-Bangsa dengan terbentuknya British Mandate of Palestine setelah Perang Dunia I . Dilanjutkan dengan adanya usaha pembagian wilayah di Palestina menjadi a Jewish state, an Arab state and a UN-controlled territory di sekitar Jerussalem setelah Perang Dunia II. Banyak yang menolak namun tidak sedikit pula yang mendukung. Usaha pembagian wilayah ini berujung pada pertengkaran antara Yahudi dan Arab yang kemudian memunculkan problematika mengenai legal-ilegal dalam membangun suatu tempat tinggal. Pergelutan ini pun seperti tiada akhir.

...the phenomenon of informality can be the product of a multitude of forces, including but not limited to the logic of capital. In Israel, in furtherance of the politics of an ethno-nation, planning has been used as an instrument of ethnic control. Thus, urban informality is “created” for the purpose of marginalizing, excluding, and impeding the development of an entire ethnic subpopulation”.[1]

Urban informality memang memiliki banyak pengertian, salah satunya adalah seperti yang disampaikan Oren Yiftachel dan Haim Yacobi di atas. Hal ini juga diilustrasikan oleh “Journey to The Occupied Lands”, sebuah film dokumenter mengenai okupasi Israel terhadap lahan Palestina. Di film ini dideskripsikan bagaimana informalitas terfokus tidak hanya pada permasalahan negara berkembang, seperti kapitalisme atau neo-liberalisme, tetapi juga kontrol etnis. Marjinalisasi yang terjadi disebabkan oleh etnokrasi, yaitu rezim dimana etnisitas, bukan kewarganegaraan, adalah logika utama yang digunakan untuk mengalokasi suatu sumber daya negara dan disertai adanya kelompok etnis yang mendominasi kebijakan publik.[2] Di dalam hal ini tentu yang mendominasi kebijakan publik tersebut adalah kaum yahudi Israel, sehingga informalitas menjadi salah satu cara Israel meluaskan teritorinya, pelan tapi pasti.

Yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana perkembangan tempat tinggal kaum yahudi Israel dan pengaruhnya pada warga Palestina. Apakah informalitas yang terjadi juga berupa modernisasi, seperti informalitas yang terjadi di negara dunia ketiga lainya?

Pada tulisannya yang berjudul “Urban Informality as a “New” Way of Life”, Nezar AlSayyad sempat membubuhkan pendapatnya mengenai tulisan Yiftachel dan Yakobi terkait informalitas di kawasan timur tengah ini:

“Here the “legal” expropriation of nearly all Arab land by the state has meant that, despite holding Israeli citizenship, most Arabs have lost all rights to land. In this way Arab areas are deprived of basic development and planning authority, creating massive informality”.[3]

Pernyataan di atas mungkin dapat dilihat perwujudannya pada perkembangan urban di kota Lod yang dibahas oleh Haim Yacobi pada “Architecture, Orientalism, and Identity: The Politics of The Israeli-Built Environement”. Pada tahun 1948 kota ini diokupasi. Para rakyat Palestina yang tadinya menetap terpaksa pergi atau dideportasi. Pada tahun 1950 kota ini hanya memiliki 9% rakat Palestina. Sementara sisanya adalah imigran yahudi: 50% dari Polandia, Romania, dan Bulgaria, 50% sisanya lagi dari Morocco,Tunisia, Turki, dan Iraq.[4]

Walaupun pada akhirnya didominasi oleh kaum Yahudi, perkembangan kota Lod bisa dibilang lambat. Para imigran tersebut lebih memilih hidup pas-pasan dengan sisa-sisa tempat tinggal warga Palestina sebelumnya dibanding membangun pabrik atau menciptakan mata pencaharian baru. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya modernisasi pada penataan kota itu. Pada tahun 1954 Michael Barr, seorang town planner membuat master plan di kota Lod tersebut. Plan yang dibuat Barr berupa pembagian kota menjadi unit-unit yang disatukan oleh jalanan dan taman tanpa mempedulikan existing bangunan yang sudah ada sebelumnya.


Lod Master Plan

(sumber: The Engineers and Architects Journal in Israel, 1954, vol.12.)

Di film “Journey to The Occupied Lands” juga sempat diilustrasikan bagaimana tempat tinggal kaum Yahudi meluas. Walaupun tidak ditonjolkan bagaimana kehidupan kaum diasporik pada awalnya, namun Ambrosino secara tidak langsung menunjukkan perkembangan modernisasi yang dibawa kaum Yahudi ke tanah Palestina. Ia meliput kawasan bernama Ariel yang bisa dibilang mewah dan dibangun untuk menarik perhatian kaum Yahudi di seluruh dunia. Diperlihatkan bagaimana fasilitas yang baik dan modern telah menarik perhatian keluarga-keluarga muda Yahudi namun dengan kontak yang jarang sekali terjadi antara mereka dengan warga Palestina di sekitar situ.


Ariel bak utopia bagi kaum Yahudi

(sumber: http://www.jewishjournal.com/)

Ariel was planed from the beginning to become a city with 50.000 inhabitants... since 1977... this is the place on which was the first government decision to build only on the government’s own (land) or state’s own land so they had to change the whole plan...

- Plea Albeck, Deputy minister of justice

Baik apa yang dideskripsikan Yacobi mengenai kota Lod maupun hasil wawancara Ambrosino menunjukkan modernisasi yang tercipta karena kedatangan kaum Yahudi adalah satu bentuk etnokrasi. Michael Barr membuat plan yang secara terang-terangan hendak menghilangkan image kota sebelumnya, begitu pula plan Ariel. Plea Albeck bahkan sempat mengemukakan pendapatnya mengenai dasar kelegalan lahan Ariel seperti ini: “It does not have the ownership but it has the right to use it”.

Sementara modernisasi ini terus berlanjut, banyak kaum Arab yang tersingkirkan. Di film ini pun sempat diperlihatkan kekerasan yang diberikan pihak militer Israel pada warga Palestina. Sekalipun dilakukan berbagai upaya untuk mencapai kedamaian, target itu tidak akan pernah tercapai karena adanya keputusan yang berat sebelah dan untuk menghilangkannya tentu perlu peninjauan lebih pada kaum yang termarjinalisasi, seperti yang terkutip dari Oren Yiftachel:

The government should, therefore, adopt more egalitarian policies and address the social, economic and political problems of the periphery. Without such changes, the urgently needed reconciliation between Jews and Palestinians, in their common homeland, is likely to face more obstacles.[5]



[1] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, “Urban Informality – Transnational Perspectives from the Middle East, Latin America, and South Asia”, Lexington Books, U.S.A, 2004, hlm. 21.

[2] Oren Yifthacel, “Israeli Society and Jewish-Palestinian Reconciliation: 'Ethnocracy' and Its Territorial Contradictions”, The Middle East Journal volume 1, No.4 (1997), hlm. 507.

[3] Ananya Roy dan Nezar AlSayyad, Op.Cit.

[4] Haim Yacobi, “Architecture, Orientalism, and Identity: The Politics of The Israeli-Built Environement”, Israel Studies volume 13, no.1, hlm. 98.

[5] Oren Yifthacel, Op.Cit., hlm. 519.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar