28/11/10

Tanah, Senjata, dan Air Mata

Postingan saya mengenai film "Journey to The Occupied Lands" sebenarnya dibantu oleh beberapa pihak, salah satunya teman saya, Geger Riyanto (alumnus sosiologi Universitas Indonesia). Geger sendiri bagi saya lebih mengerti dan luas pengetahuannya dibanding saya, termasuk mengenai konflik Israel-Palestina. Ia juga sempat menorehkan pendapatnya mengenai film dokumenter ini dan menurut saya apa yang ia tulis juga merupakan suatu inspirasi tersendiri. Sebagai ucapan terima kasih dan rasa penghargaan saya, maka saya post saja tulisannya. Selamat menikmati :D

--------

Tanah, Senjata, dan Air Mata

Tanggapan atas film “Journey to the Occupied Lands”

They [Arab-Palestinian] are stateless at home.”

—Michael Ambrosino

1

Di lingkungan kita, Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar, menyebut Israel sebagai sebuah negara akan banyak mengundang perdebatan. Gus Dur menghadapi banyak kecaman ketika hendak membuka hubungan diplomatik dengan negara Israel yang pada saat itu dipimpin oleh kawannya, Yitzak Rabin.

Tujuh dekade setelah administrasi kenegaraan Zionis berdiri di atas Palestina, sejumlah negara enggan mengakui kedaulatan Israel sebagai sebuah negara. Kepala negara seperti Ahmadinejad pun bahkan dengan blak-blakan kerap mengumbar pernyataan kontroversial berkenaan dengan Israel; misal, pernyataan untuk menghapus Israel dari peta dunia dan meragukan holocaust, dua pernyataan yang kemudian dinyatakan oleh para pejabat Iran telah disalahtafsirkan publik internasional.

Film “Journey to the Occupied Lands” sebenarnya dapat dikatakan sebagai suatu perdebatan tentang eksistensi negara Israel—yang ini diangkat dari sisi kehidupan para warga negaranya sendiri. Sebagai sebuah negara modern, karakteristik birokrasi di Israel amatlah berat sebelah, berperilaku etnosentris, apalagi untuk persoalan tanah yang menjadi hajat kehidupan penting bagi warganya—mengutip sastrawan Mark Twain, “Buy land, they are not making it anymore.”

2

Michael Ambrosino, produser dan pembawa film ini, mengajak kita untuk melihat bagaimana pemerintahan militeristik Israel, atas nama keamanan dan stabilitas, mengambil alih wilayah-wilayah strategis milik orang Arab yang tinggal di bawah wilayah kekuasaannya. Sepotong adegan memperlihatkan bagaimana seorang prajurit, berselempangkan senjata, menendang dagangan wanita Arab.

Keluarga-keluarga Arab diperlakukan dengan tidak adil. Tiba-tiba saja tanah atau rumah mereka dapat diambil oleh warga Yahudi yang mempunyai sertifikat atas wilayah mereka—dan mereka biasa didampingi oleh tentara ketika harus mengusir orang-orang Arab dari rumahnya. Mengajukan perkara semacam di pengadilan Israel yang didominasi oleh para militer Yahudi bagi warga Arab seperti berteriak ke hadapan tembok yang tak akan menjawab. Seorang pengacara Yahudi bahkan bertestimoni, hukum Israel memperkenankan pengadilan untuk menggunakan kesaksian seseorang yang diinterogasi dengan tekanan-tekanan fisik. Mengurus sertifikat tanah pun menjadi proses yang amat rumit bagi orang-orang Arab.

Padahal, di bawah periode mandat Inggris (1923-1948), hak-hak warga Arab atas tanahnya tetap dijaga, tak bisa dibandingkan dengan pada masa administrasi militer Israel di mana aneksasi terjadi pada taraf yang amat masif. Para politisi sayap kiri Israel merasa apa yang dilakukan negaranya ini tidak benar. Mereka merasa negara ini sedang memelihara konflik dan menanam benih-benih kekerasan berkepanjangan. “Bagaimana bisa engkau hidup berdampingan [serumah] dengan orang yang kau ambil alih rumahnya?” tanya pembawa film ini kepada seorang Yahudi yang baru mengambil sebagian rumah yang tadinya milik warga Arab. Tetapi orang-orang kiri Israel menghadapi para pejabat konservatif yang mengatasnamakan keamanan warga Yahudi—keselamatan, menurut mereka, tak bisa dikompromikan dengan kedamaian.

Tanah, sekali lagi, merupakan hajat hidup yang amat vital. Di beberapa bagian film kita disajikan potret para pemuda Arab yang sehari-harinya diperlakukan seperti kriminal oleh tentara negara yang berjaga di mana-mana. Padahal, mereka hanya warga biasa yang hendak pergi bekerja. Para pemuda Arab yang tampak terkatung-katung sebagai kerumunan buruh ini merupakan potret dari warga Arab yang kehilangan tanah mereka.

Palestinian Nationalism Has Left the Field, penelitian Tamir Sorek tentang nasionalisme dan sepak bola warga Arab di wilayah Israel, menjelaskan, setelah perang Israel-Arab 1948, orang-orang Arab kehilangan tanahnya dan terkatung-katung menjadi kelas petani tanpa lahan. Secara ekonomi, mereka sangat rentan dan lemah, hanya punya tenaga sebagai modalnya untuk bekerja. Pada tahun 50an dan 60an, federasi buruh Israel membuka tim-tim sepak bola di wilayah-wilayah rural tempat tinggal orang Arab. Menjadi pesepakbola di tim-tim tersebut lantas menjadi mimpi para pemuda Arab yang tak memiliki banyak kesempatan di atas tanah air mereka sendiri yang dikuasai kalangan Yahudi.

Film ini juga menggali arti berharga tanah di mata warga Yahudi—kelompok penguasa—dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dilematis kepada sekumpulan warga Yahudi yang dihimpun Ambrosino. Apakah mereka tidak merasa bersalah menempati dengan paksa tanah yang sebelumnya telah ditinggali lama oleh orang-orang Arab? Ada yang menjawab, kami yang punya hak legal atas tanah ini, ada pula yang menjawab dengan enteng dan agak berang, orang-orang Arab itu seharusnya tinggal di negara lain, mereka akan mempunyai kehidupan yang lebih baik di sana. Salah seorang warga Yahudi yang dihimpun Ambrosino bahkan meninggalkan kehidupan yang baik di Amerika untuk tinggal di tanah Israel, “akarnya,” ujar si orang Yahudi. Arti penting tanah semakin dilambungkan dengan sentimen keagamaannya.

Betapapun begitu, menurut Oren Yiftachel, pengamat tata kota dari Ben Gurion University, Israel bukanlah demokrasi. Ia adalah etnokrasi. Narasi kelompok etnis penguasalah yang mendapatkan tempat. Bisa dikatakan, agak menyerupai apartheid. Dalam sistem apartheid yang diterapkan di Afrika Selatan selama beberapa dekade, kepemilikan modal dan jabatan-jabatan penting dijauhkan dari warga kulit hitam. Warga kulit hitam yang secara jumlah merupakan mayoritas menjadi minoritas di negara tersebut.

3

Kembali ke “Journey to the Occupied Lands”. Hal yang penting diperhatikan adalah film ini diproduksi pada tahun 1993, di saat Timur Tengah berada di penghujung perubahan; pada akhir tahun itu, perjanjian Oslo ditandatangani. PLO (Palestine Liberation Organization), yang hingga tahun 1991 masih dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Israel, mengakui hak Israel untuk hidup dengan damai. Yasser Arafat, pimpinan PLO, setelah kesepakatan Oslo menjadi kepala wilayah otoritas Palestina yang ditetapkan mencakup Gaza dan Tepi Barat (kembali ke batas sebelum pencaplokan pada tahun 1967).

Selain itu, film ini ditayangkan pertama kali di AS dan, tentu, untuk pemirsa AS. Ambrosino dari awal menekankan bagaimana uang para pembayar pajak dihabiskan untuk membantu administrasi militer Israel. Kegusaran bahwa miliaran dolar uang mereka dihabiskan untuk konflik di Timur Tengah telah berkembang lama di antara warga Amerika, bahkan teori lobi canggih dan konspirasi Yahudi berkembang di sejumlah kelompok warga.

Banyak perkembangan signifikan yang terjadi setelah film ini selesai dibuat. Tembok pemisah yang terkenal itu dibangun oleh pemerintah Israel dengan tujuan menjamin keselamatan warganya dan membelah wilayah Israel dengan Palestina. Aneksasi tetap terus terjadi. Pembatasan wilayah yang ketat menghambat pertumbuhan ekonomi di Palestina. Jalur-jalur distribusi dan perdagangan terus diawasi dengan ketat oleh Israel, memperkeruh keadaan ekonomi warga Palestina yang masih bergantung pada bantuan internasional.

Sebagai komentar, “Journey to the Occupied Lands” memberikan suatu gambaran yang miris dan riil tentang konflik tanah di sebuah negara militeristik yang ditinggali oleh dua bangsa. Bangsa yang satu menindas yang lain. Kekeraskepalaan yang berkuasa tak akan bisa dipertemukan dengan hajat hidup yang lain. Dan perdamaian jauh dari kata mudah. Tanah digambarkan dalam film ini dengan cuplikan-cuplikan kisah nyata dan mendarah daging sebagai sumber daya yang tak tergantikan, bahkan oleh rasa kemanusiaan.

Dan terakhir, kita sebut nama Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel kelima. Pemimpin dan—menurut beberapa kalangan—salah satu putra terbaik Israel ini dibunuh oleh seorang warga Yahudi berhaluan sayap kanan radikal karena peran sertanya yang memungkinkan berdirinya wilayah administrasi Palestina pada 1993. Begitulah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar