07/09/10

Ingat-ingat pesan Jacobs

Pada suatu hari (Sabtu, 4/9 10) saya pergi ke Sanggar Ciliwung yang terletak di Bukit Duri, persis di tepi sungai Ciliwung. Ini kedua kalinya saya pergi ke daerah ini. Kali ini saya pergi dengan tujuan membantu tim pemetaan Sanggar Ciliwung.

Dari pertama kali saya mengelilingi daerah sekitar Sanggar Ciliwung, saya selalu merasa berada di dimensi lain kota Jakarta. Memang bisa dibilang saya ini dari golongan menengah ke atas dan sangat jarang melihat kehidupan golongan menengah ke bawah. Bukannya saya memberi jarak pada golongan tertentu, tapi saya memang terlalu disibukkan dengan urusan kuliah.

Singkatnya, perjalanan saya menuju Sanggar Ciliwung membuka mata saya lagi, bahwa ada kesederhanaan di balik kerumitan-kerumitan di ibukota Indonesia ini. Contohnya saja ketika saya sedang memperhatikan teman saya, Gentur, membuat mural di salah satu tembok rumah bertingkat. Di sekitarnya ada banyak anak kecil yang saling berkejaran dan tertawa riang dan Gentur tidak terganggu karena hal itu (bahkan saya rasa ia cukup menikmati keriuhan yang dibuat oleh cekikikkan anak-anak kecil itu). Saya akui, saya tidak menemukan keceriaan ini entah sejak kapan. Sebenarnya di sekitar rumah saya juga ada banyak anak kecil yang bermain di tengah jalan lingkungan. Namun, mereka cukup membuat warga yang mengendarai kendaraan bermotor geram setiap hendak melewati jalan lingkungan tersebut. Saya sendiri tidak bisa menyalahkan mereka yang bermain dengan seenaknya di jalanan tersebut melihat lapangan bermain mereka sendiri kini nyaris tidak ada. Tempat itu telah digantikan dengan perumahan baru.

Contoh 'kesederhanaan' yang lain adalah kepedulian antarwarga. Ketika saya disibukkan oleh kepentingan pribadi saya, hal-hal seperti menyapa tetangga adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Jangankan dilakukan, niatnya saja bahkan tidak ada. Situasi seperti ini saya sebut dengan GENGSI. Padahal tetangga saya dulu itu teman bermain saya saat masih kecil. Kami sering main petak umpet, ta' jongkok, ta' benteng, dan ta' ta' lainnya. Dulu rumah belum sebanyak sekarang.

Kembali ke masalah kepedulian antarwarga, hal ini saya perhatikan ketika saya baru saja sampai di Sanggar Ciliwung, saya diperkenalkan ke remaja yang tinggal di sekitar sanggar, salah satunya seorang gadis ramah yang saya lupakan namanya karena saya terlalu terpukau dengan minimnya gengsi yang ia punya. Ia berkenalan dengan saya, menyapa saya, menanyakan kegiatan saya, dan menjawab pertanyaan saya seolah-olah saya ini teman sepantarannya. Seperti tidak ada 'gengsi' yang selama ini saya temukan jika saya bertemu dengan tetangga saya!

Ada banyak hal yang sederhana namun sangat menggugah kesadaran sosial saya. Namun, dua contoh yang telah saya paparkan sangat sering menghantui pikiran saya. Semenjak saya mengenal Sanggar Ciliwung, terlepas dari program-programnya yang memang bertujuan agar tidak ada penggusuran di sekitar situ, saya menjadi lebih perhatian terhadap apa yang terjadi dengan kehidupan sosial kita sebagai penduduk Jakarta.

Saya jadi ingat kata-kata Pak Tiu, dosen matakuliah Heritage dan Perancangan, yang sederhananya saya rumuskan sebagai berikut:

KOTA = BERTINGGAL + BERKARYA + BERKOTA

Saya pribadi melihat Jakarta tidak memliki keseimbangan di antara 3 poin tersebut. Rank-nya seperti ini:
  1. Tempat Berkarya. Ada banyak orang desa yang ingin ke Jakarta karena Jakarta dianggap sumber penghasilan, tempat kerja bergengsi, tempat cari duit, dll yang cukup memberikan gambaran bahwa Jakarta adalah Tempat Berkarya.
  2. Tempat Bertinggal. Oleh karena banyak orang yang bekerja di Jakarta, maka mereka membutuhkan tempat tinggal. Jadilah, JRENG, "Tempat Bertinggal" di rank ke-2 sebagai hal yang mewakili sifat kota Jakarta
  3. Tempat Berkota. Ia berada di rank paling akhir. Bahkan, jika ada 100 poin yang mewakili apa itu kota, maka "Berkota" tetap menjadi rank terakhir sebagai poin yang mewakili sifat kota Jakarta karena minimnya pedestrian dan fasilitas penunjangnya, plus kurangnya lahan hijau atau taman untuk sekedar duduk-duduk dan kumpul-kumpul...intinya minim hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas bersosialisasi dan berbudaya untuk penduduk Jakarta. (Saya tidak menyebut mall sebagai salah satu wadah berkota karena mall sendiri secara keutuhan telah memberikan gap pada mereka yang mampu ke mall dan yang tidak mampu ke mall. ....kurang anarkis, makanya saya tidak setuju jika mall adalah wadah berkota. )
Saya rasa the 3rd place, yaitu Tempat Berkota tidak menjadi prioritas di kota metropolis ini. Mungkin karena semuanya terasa diarahkan untuk mencari kesuksesan dengan parameter "the more money you make, the more people call you the successful one". Padahal uang bukan satu-satunya hal yang harus didapat untuk memenuhi hasrat yang paling mendasar kita sebagai manusia.

5 HASRAT MANUSIA:
  • hasrat mempertahankan hidup
  • hasrat hidup dengan sesama
  • hasrat hidup berdamai dengan alam adikodrati
  • hasrat menyatakan diri
  • hasrat melanjutkan kehidupan
Jika uang masuk ke poin pertama, bukan berarti kita melupakan poin yang lainnya. Keseimbangan semua poin-nya, saya rasa, akan membuat kita tidak hanya bahagia secara utuh sebagai individu, tapi juga saling memberi kebahagiaan sebagai makhluk sosial.


"There is a quality even meaner than outright ugliness or disorder, and this meaner quality is the dishonest mask of pretended order, achieved by ignoring or suppressing the real order that is struggling to exist and to be served."
Jane Jacobs

Hayo! siapa yang merasa menindas dan tertindas di Jakarta?

3 komentar:

  1. Satu lagi yg mau gw komenin:
    Masyarakat jakarta saat ini kayaknya lebih ngeliat Ciliwung sebagai entitas yang terpisah, sebagai suatu kawasan outlaw yang kerjaannya cuma nambah2in banjir aja. Masyarakat jakarta cuman "nonton" aja dan komen sepintas lalu "gusur aja", "bikin banjir aja sih", ato "oh kasian ya" seakan2 itu bukan bagian dari masalah mereka juga. Ignorant.

    Mungkin banyak yang sering mondar-mandir lewat bukit duri (krn ada SMA 8 deket situ), tapi seberapa banyak sih orang yang bener2 merasa kalo mereka dan kita juga adalah bagian dari jakarta sama?

    Mungkin hal ini bisa gw kait2in sama konsep "masyarakat spectacle" yang sering diangkat sama situasionis internasional. Kayaknya kita ngeliat hidup ini udah bukan jadi suatu kesatuan lagi. Semuanya menjadi serba individualistis. Kita ngeliat hidup orang lain, contohnya seperti kehidupan masyarakat ciliwung itu, hanya sebatas sebagai "tontonan" aja. Gak lebih.

    BalasHapus
  2. ada baiknya temen2 jalan2 ke luar jakarta. Nah, bagi warga jakarta sendiri, semua daerah di luar jakarta adalah tontonan tersendiri.

    read more:http//everlastinggaze.net

    Cheers

    BalasHapus
  3. terima kasih atas komentarnya, teman-teman :)

    @tomo: setuju jika kebanyakan dari kita lebih sering 'menonton' ketimbang melakukan atau langsung terjun merasakan apa yang terjadi dengan kehidupan di sisi 'lain' jakarta, sehingga kita melupakan apa yang sebenarnya menjadi hasrat terdalam kita sebagai makhluk sosial.

    yah...cheers for S.I lah ..fufufu

    @Fajri: terima kasih atas link.nya :)

    BalasHapus