18/09/10

Robert Moses dan New York: Ketika Menjadi Modern Tidak Selalu Baik

Melihat sejarah perkembangan New York tidak pernah lepas dari sosok politis bernama Robert Moses. Ia adalah kepala dari segala pembangunan di New York pasca perang dunia kedua. Ambisinya adalah membuat New York menjadi modern, diawali dari kontribusinya pada Long Island, dimana ia membuat taman dan jalurnya pada tahun 1920an, dan diikuti dengan masterpiece-nya, Jones Beach State Park. Di masanya New York sungguh berubah secara dramatis.

Robert Moses the Master Builder
(sumber: http://web.jjay.cuny.edu/ )



Robert Moses mengembangkan New York menjadi tempat yang mudah dicapai. Ia membangun jalan raya di west side, terowongan Brookyln-Battery, jembatan Triborough, dan Cross-Bronx expressway yang memicu unjuk rasa karena dinilai merusak nilai pusaka yang ada di stasiun tersebut. Baginya, jalan raya dan jembatan adalah hal yang sangat penting agar New York mudah diakses, baik dari daerah metropolitannya ke pusat kotanya, maupun sebaliknya. Sayangnya hal positif ini juga memberi efek pada penggunaan mobil yang melunjak pada masa itu, sehingga timbulah kemacetan. Ironisnya, Robert Moses justru menganggap solusi dari kemacetan itu adalah dengan dibangunnya jalanan baru, bukan mencoba mengurangi penggunaan mobil itu sendiri. “Cities are created by and for traffic”, ucapnya.

Secara keseluruhan, Moses menginginkan suatu perubahan besar pada New York yang secara industrial juga mengalami kemerosotan. Karenanya, Moses juga membuat landmark yang monumental, sehingga dapat meningkatkan intelektualitas, politik, dan kebudayaan di pusat kotanya. Berdirinya beberapa institusi, seperti Lincoln Center, diharapkan dapat mendukung New York untuk menonjolkan kelebihannya. Tidak hanya itu ia juga mengambil andil dalam program pembersihan kawasan kumuh bernama Title I yang dilaksanakan pada tahun 1949 hingga 1960. Peremajaan kota ini dilakukan dengan memindahkan ribuan orang ke rumah susun. Dengan begini, Moses berharap New York menjadi lebih rapi, efektif secara spasial, tidak kumuh, mencerminkan New York sebagai ibu kota dunia, dan tentu saja lebih modern. Ironisnya, biaya rumah susun tersebut sulit untuk dibayar oleh penghuninya.

Pada tahun 1960an Robert Moses ditentang begitu banyak orang karena ia dipandang sebagai orang yang membangun jalan raya, jembatan, taman, rumah susun, dan semua hal yang ingin menunjukkan betapa hebatnya New York tanpa melihat apa esensi kehidupan dalam kota itu sendiri. Tanpa disadari, ambisi Moses berubah menjadi obsesi yang melupakan hasrat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Bangunan modern yang katanya menampung banyak orang itu ternyata menghilangkan suasana sosialisasi antarwarga yang pernah hadir sebelum Moses merubahnya menjadi begitu modern. Efektif memang dalam menampung, tapi tidak dalam berbudaya. Belum lagi meningkatnya ketergantungan para penduduk kepada mobil yang membuat penduduknya perlahan melupakan pedestrian. Perlahan kota modern yang diciptakan Moses membuat warganya merindukan kembali suasana yang manusiawi.

Sekilas, apa yang telah diberikan Moses pada New York membuat saya memikirkan keadaan Jakarta. Jakarta, sama dengan New York, menampung beragam jenis, ras, suku, etnis orang dan memiliki image kota yang modern. Di zaman Moses begitu berkuasa dengan pembangunannya kita dapat melihat bagaimana prioritas terhadap efektifitas lahan menjadi hal yang penting dalam peremajaan kota. Rumah susun yang dibuat Moses tidak serta merta dicap sebagai produk gagal karena dari situ kita dapat belajar lahan dan ruang dapat dioptimalkan disertai pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik juga.

Moses considered population density a desirable urban feature; his (Robert Moses') aim was to increase light, air, and open space without depopulating the city.”

Dengan issue global warming yang begitu merebak saat ini, apa yang terkutip di atas nampaknya perlu disadari. Dalam hal ini, berpikir modern seperti Moses tidaklah salah sama sekali. Namun, bukan berarti kita harus melupakan sisi lain juga, seperti psikologis, sosial, dan budaya dari kota itu sendiri karena apa yang dilakukan Moses lebih menyerupai ‘perubahan dalam skala besar’. Ia tidak menyadari bahwa perubahan dalam skala kecil pun dapat mempengaruhi kehidupan para warga.

Kita bisa saja merubah jakarta menjadi tempat yang begitu tertata rapi seperti yang dihendaki Moses, tapi apakah menjadi modern adalah hal yang paling penting hingga kita melupakan kebudayaan negeri kita sendiri? Di Jakarta sendiri kita masih dapat melihat kawasan kumuh yang sering kita sebut “perkampungan”. Berbeda dengan yang terjadi di kawasan menengah ke atas, di perkampungan solidaritas antarwarga-nya lebih terasa. Hal ini terlihat dari adanya fasilitas umum, seperti kamar mandi dan warung makanan. Di Bukit Duri misalnya, tidak hanya kamar mandi umum dan warung makanan, ada pula semacam gubuk kecil untuk duduk-duduk para warganya. Dengan keadaan rumah-rumah kecil yang saling berhimpitan dan jalan lingkungan yang tidak begitu besar, sosialisasi antarwarga di kampung lebih sering terjadi dibanding dengan warga Jakarta yang tinggal di kawasan menengah ke atas. Bukan berarti saya menyimpulkan kehidupan di kawasan perkampungan itu lebih baik, tetapi jika melihat Indonesia secara keseluruhan, kehidupan perkampungan seperti ini tidak hanya terjadi di pinggiran Sungai Ciliwung saja, tapi juga di pedesaan, bahkan mungkin hampir di seluruh Indonesia kecuali kota-kota besar seperti Jakarta. Kehidupan saling bergotong-royong, kumpul-kumpul, mengadakan kerja bakti bersama menjadi kebiasaan yang dijunjung tinggi, sedangkan di Jakarta sendiri hal yang seperti itu mulai pudar. Apa yang terjadi di kawasan perkampungan di Jakarta adalah bukti bahwa kita tidak bisa lepas dari budaya lokal seperti itu, seperti yang disimpulkan Triatno Yudo Harjoko pada “PENGGUSURAN OR EVICTION IN JAKARTA: Solution Lacking Resolution for Urban Kampung”:

Rational decision making in planning practice ignores the factual knowledge regarding the development issues distinctive to Indonesia and especially the kampung. Globalization and its subsequent economic liberalization simply strengthen the domination of the ‘center’ beyond the national boundary. The peripheries, that is, remote areas in the archipelago and urban kampung settlement, remain untouched. Urban spectacles, such as shopping mall, high rise office and apartment buildings, are simply a camouflage of wealth; beyond his point lay isolated, inaccessible, and crowded urban kampungs


Hidup Berhimpitan di Kampung Bukit Duri


Tidak hanya masalah kawasan kumuh yang ada di Jakarta, penggunaan kendaraan pribadi juga menjadi hal yang sering dilirik oleh kita. Kemacetan adalah hal yang bahkan mungkin sudah mewakili Jakarta sendiri. Ironisnya, begitu banyak mobil yang digunakan, begitu sedikit trotoar yang berfungsi dengan baik. Hal ini juga menjadi salah satu hal yang menekan kita untuk merasa lebih nyaman menggunakan mobil pribadi daripada kendaraan umum atau sekedar berjalan di pedestrian yang ada. Lalu, adakah solusi dari pemerintah DKI Jakarta? Di Bintaro, tempat saya tinggal, salah satu solusi untuk menghilangkan kemacetan itu adalah jalan tol. Dan seperti yang terjadi di New York, jalan tol ini hanyalah bentuk perpanjangan masalah dari kemacetan itu sendiri. Memang lebih cepat menggapai beberapa daerah yang cukup jauh, seperti Depok. Namun, kemacetan tetap terjadi, khususnya di akhir pekan. Belum lagi masalah polusi yang diciptakan dari begitu banyaknay kendaraan yang memenuhi Jakarta. Sepertinya apa yang diucapkan Moses bahwa kota diciptakan dari dan untuk traffic adalah kesalahan besar.


Pancoran Dulu
(sumber: http://foto.vivanews.com/read/96-kawasan_pancoran_dulu_dan_sekarang)


Pancoran Sekarang
(sumber: http://picasaweb.google.com/lh/photo/iQpVbSc1sH542vpYXqUFJg)



Dari apa yang telah diberikan Moses pada New York kita bisa belajar, bahwa menjadi modern tidak selalu menjadi solusi yang terbaik dalam mengembangkan tata ruang sebuah kota. Kita tidak bisa mengacuhkan apa yang terjadi di setiap lingkungan kecil di kota tersebut karena suatu kota tidak pernah lepas dari kebutuhan warganya, seperti yang dikatakan Jane Jacobs “Design is people”.Terlepas dari itu semua, saya sangat menghargai dedikasi Robert Moses pada New York. Seandainya di Jakarta ada orang yang sangat berdedikasi seperti dia, tapi tetap rendah hati dan tidak melupakan kebutuhan dasar manusia, Jakarta pasti dapat berubah menjadi lebih baik.


sumber bacaan:
http://www.learn.columbia.edu/moses/
http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/Harjoko-T-ASAA2004.pdf

1 komentar: