23/09/10

Share

please, share what you feel, see, imagine..anything when you see these pictures below. THANK YOU~!

1

2

3

4

5

6

18/09/10

Robert Moses dan New York: Ketika Menjadi Modern Tidak Selalu Baik

Melihat sejarah perkembangan New York tidak pernah lepas dari sosok politis bernama Robert Moses. Ia adalah kepala dari segala pembangunan di New York pasca perang dunia kedua. Ambisinya adalah membuat New York menjadi modern, diawali dari kontribusinya pada Long Island, dimana ia membuat taman dan jalurnya pada tahun 1920an, dan diikuti dengan masterpiece-nya, Jones Beach State Park. Di masanya New York sungguh berubah secara dramatis.

Robert Moses the Master Builder
(sumber: http://web.jjay.cuny.edu/ )



Robert Moses mengembangkan New York menjadi tempat yang mudah dicapai. Ia membangun jalan raya di west side, terowongan Brookyln-Battery, jembatan Triborough, dan Cross-Bronx expressway yang memicu unjuk rasa karena dinilai merusak nilai pusaka yang ada di stasiun tersebut. Baginya, jalan raya dan jembatan adalah hal yang sangat penting agar New York mudah diakses, baik dari daerah metropolitannya ke pusat kotanya, maupun sebaliknya. Sayangnya hal positif ini juga memberi efek pada penggunaan mobil yang melunjak pada masa itu, sehingga timbulah kemacetan. Ironisnya, Robert Moses justru menganggap solusi dari kemacetan itu adalah dengan dibangunnya jalanan baru, bukan mencoba mengurangi penggunaan mobil itu sendiri. “Cities are created by and for traffic”, ucapnya.

Secara keseluruhan, Moses menginginkan suatu perubahan besar pada New York yang secara industrial juga mengalami kemerosotan. Karenanya, Moses juga membuat landmark yang monumental, sehingga dapat meningkatkan intelektualitas, politik, dan kebudayaan di pusat kotanya. Berdirinya beberapa institusi, seperti Lincoln Center, diharapkan dapat mendukung New York untuk menonjolkan kelebihannya. Tidak hanya itu ia juga mengambil andil dalam program pembersihan kawasan kumuh bernama Title I yang dilaksanakan pada tahun 1949 hingga 1960. Peremajaan kota ini dilakukan dengan memindahkan ribuan orang ke rumah susun. Dengan begini, Moses berharap New York menjadi lebih rapi, efektif secara spasial, tidak kumuh, mencerminkan New York sebagai ibu kota dunia, dan tentu saja lebih modern. Ironisnya, biaya rumah susun tersebut sulit untuk dibayar oleh penghuninya.

Pada tahun 1960an Robert Moses ditentang begitu banyak orang karena ia dipandang sebagai orang yang membangun jalan raya, jembatan, taman, rumah susun, dan semua hal yang ingin menunjukkan betapa hebatnya New York tanpa melihat apa esensi kehidupan dalam kota itu sendiri. Tanpa disadari, ambisi Moses berubah menjadi obsesi yang melupakan hasrat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Bangunan modern yang katanya menampung banyak orang itu ternyata menghilangkan suasana sosialisasi antarwarga yang pernah hadir sebelum Moses merubahnya menjadi begitu modern. Efektif memang dalam menampung, tapi tidak dalam berbudaya. Belum lagi meningkatnya ketergantungan para penduduk kepada mobil yang membuat penduduknya perlahan melupakan pedestrian. Perlahan kota modern yang diciptakan Moses membuat warganya merindukan kembali suasana yang manusiawi.

Sekilas, apa yang telah diberikan Moses pada New York membuat saya memikirkan keadaan Jakarta. Jakarta, sama dengan New York, menampung beragam jenis, ras, suku, etnis orang dan memiliki image kota yang modern. Di zaman Moses begitu berkuasa dengan pembangunannya kita dapat melihat bagaimana prioritas terhadap efektifitas lahan menjadi hal yang penting dalam peremajaan kota. Rumah susun yang dibuat Moses tidak serta merta dicap sebagai produk gagal karena dari situ kita dapat belajar lahan dan ruang dapat dioptimalkan disertai pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik juga.

Moses considered population density a desirable urban feature; his (Robert Moses') aim was to increase light, air, and open space without depopulating the city.”

Dengan issue global warming yang begitu merebak saat ini, apa yang terkutip di atas nampaknya perlu disadari. Dalam hal ini, berpikir modern seperti Moses tidaklah salah sama sekali. Namun, bukan berarti kita harus melupakan sisi lain juga, seperti psikologis, sosial, dan budaya dari kota itu sendiri karena apa yang dilakukan Moses lebih menyerupai ‘perubahan dalam skala besar’. Ia tidak menyadari bahwa perubahan dalam skala kecil pun dapat mempengaruhi kehidupan para warga.

Kita bisa saja merubah jakarta menjadi tempat yang begitu tertata rapi seperti yang dihendaki Moses, tapi apakah menjadi modern adalah hal yang paling penting hingga kita melupakan kebudayaan negeri kita sendiri? Di Jakarta sendiri kita masih dapat melihat kawasan kumuh yang sering kita sebut “perkampungan”. Berbeda dengan yang terjadi di kawasan menengah ke atas, di perkampungan solidaritas antarwarga-nya lebih terasa. Hal ini terlihat dari adanya fasilitas umum, seperti kamar mandi dan warung makanan. Di Bukit Duri misalnya, tidak hanya kamar mandi umum dan warung makanan, ada pula semacam gubuk kecil untuk duduk-duduk para warganya. Dengan keadaan rumah-rumah kecil yang saling berhimpitan dan jalan lingkungan yang tidak begitu besar, sosialisasi antarwarga di kampung lebih sering terjadi dibanding dengan warga Jakarta yang tinggal di kawasan menengah ke atas. Bukan berarti saya menyimpulkan kehidupan di kawasan perkampungan itu lebih baik, tetapi jika melihat Indonesia secara keseluruhan, kehidupan perkampungan seperti ini tidak hanya terjadi di pinggiran Sungai Ciliwung saja, tapi juga di pedesaan, bahkan mungkin hampir di seluruh Indonesia kecuali kota-kota besar seperti Jakarta. Kehidupan saling bergotong-royong, kumpul-kumpul, mengadakan kerja bakti bersama menjadi kebiasaan yang dijunjung tinggi, sedangkan di Jakarta sendiri hal yang seperti itu mulai pudar. Apa yang terjadi di kawasan perkampungan di Jakarta adalah bukti bahwa kita tidak bisa lepas dari budaya lokal seperti itu, seperti yang disimpulkan Triatno Yudo Harjoko pada “PENGGUSURAN OR EVICTION IN JAKARTA: Solution Lacking Resolution for Urban Kampung”:

Rational decision making in planning practice ignores the factual knowledge regarding the development issues distinctive to Indonesia and especially the kampung. Globalization and its subsequent economic liberalization simply strengthen the domination of the ‘center’ beyond the national boundary. The peripheries, that is, remote areas in the archipelago and urban kampung settlement, remain untouched. Urban spectacles, such as shopping mall, high rise office and apartment buildings, are simply a camouflage of wealth; beyond his point lay isolated, inaccessible, and crowded urban kampungs


Hidup Berhimpitan di Kampung Bukit Duri


Tidak hanya masalah kawasan kumuh yang ada di Jakarta, penggunaan kendaraan pribadi juga menjadi hal yang sering dilirik oleh kita. Kemacetan adalah hal yang bahkan mungkin sudah mewakili Jakarta sendiri. Ironisnya, begitu banyak mobil yang digunakan, begitu sedikit trotoar yang berfungsi dengan baik. Hal ini juga menjadi salah satu hal yang menekan kita untuk merasa lebih nyaman menggunakan mobil pribadi daripada kendaraan umum atau sekedar berjalan di pedestrian yang ada. Lalu, adakah solusi dari pemerintah DKI Jakarta? Di Bintaro, tempat saya tinggal, salah satu solusi untuk menghilangkan kemacetan itu adalah jalan tol. Dan seperti yang terjadi di New York, jalan tol ini hanyalah bentuk perpanjangan masalah dari kemacetan itu sendiri. Memang lebih cepat menggapai beberapa daerah yang cukup jauh, seperti Depok. Namun, kemacetan tetap terjadi, khususnya di akhir pekan. Belum lagi masalah polusi yang diciptakan dari begitu banyaknay kendaraan yang memenuhi Jakarta. Sepertinya apa yang diucapkan Moses bahwa kota diciptakan dari dan untuk traffic adalah kesalahan besar.


Pancoran Dulu
(sumber: http://foto.vivanews.com/read/96-kawasan_pancoran_dulu_dan_sekarang)


Pancoran Sekarang
(sumber: http://picasaweb.google.com/lh/photo/iQpVbSc1sH542vpYXqUFJg)



Dari apa yang telah diberikan Moses pada New York kita bisa belajar, bahwa menjadi modern tidak selalu menjadi solusi yang terbaik dalam mengembangkan tata ruang sebuah kota. Kita tidak bisa mengacuhkan apa yang terjadi di setiap lingkungan kecil di kota tersebut karena suatu kota tidak pernah lepas dari kebutuhan warganya, seperti yang dikatakan Jane Jacobs “Design is people”.Terlepas dari itu semua, saya sangat menghargai dedikasi Robert Moses pada New York. Seandainya di Jakarta ada orang yang sangat berdedikasi seperti dia, tapi tetap rendah hati dan tidak melupakan kebutuhan dasar manusia, Jakarta pasti dapat berubah menjadi lebih baik.


sumber bacaan:
http://www.learn.columbia.edu/moses/
http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/ASAA/biennial-conference/2004/Harjoko-T-ASAA2004.pdf

07/09/10

Ingat-ingat pesan Jacobs

Pada suatu hari (Sabtu, 4/9 10) saya pergi ke Sanggar Ciliwung yang terletak di Bukit Duri, persis di tepi sungai Ciliwung. Ini kedua kalinya saya pergi ke daerah ini. Kali ini saya pergi dengan tujuan membantu tim pemetaan Sanggar Ciliwung.

Dari pertama kali saya mengelilingi daerah sekitar Sanggar Ciliwung, saya selalu merasa berada di dimensi lain kota Jakarta. Memang bisa dibilang saya ini dari golongan menengah ke atas dan sangat jarang melihat kehidupan golongan menengah ke bawah. Bukannya saya memberi jarak pada golongan tertentu, tapi saya memang terlalu disibukkan dengan urusan kuliah.

Singkatnya, perjalanan saya menuju Sanggar Ciliwung membuka mata saya lagi, bahwa ada kesederhanaan di balik kerumitan-kerumitan di ibukota Indonesia ini. Contohnya saja ketika saya sedang memperhatikan teman saya, Gentur, membuat mural di salah satu tembok rumah bertingkat. Di sekitarnya ada banyak anak kecil yang saling berkejaran dan tertawa riang dan Gentur tidak terganggu karena hal itu (bahkan saya rasa ia cukup menikmati keriuhan yang dibuat oleh cekikikkan anak-anak kecil itu). Saya akui, saya tidak menemukan keceriaan ini entah sejak kapan. Sebenarnya di sekitar rumah saya juga ada banyak anak kecil yang bermain di tengah jalan lingkungan. Namun, mereka cukup membuat warga yang mengendarai kendaraan bermotor geram setiap hendak melewati jalan lingkungan tersebut. Saya sendiri tidak bisa menyalahkan mereka yang bermain dengan seenaknya di jalanan tersebut melihat lapangan bermain mereka sendiri kini nyaris tidak ada. Tempat itu telah digantikan dengan perumahan baru.

Contoh 'kesederhanaan' yang lain adalah kepedulian antarwarga. Ketika saya disibukkan oleh kepentingan pribadi saya, hal-hal seperti menyapa tetangga adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Jangankan dilakukan, niatnya saja bahkan tidak ada. Situasi seperti ini saya sebut dengan GENGSI. Padahal tetangga saya dulu itu teman bermain saya saat masih kecil. Kami sering main petak umpet, ta' jongkok, ta' benteng, dan ta' ta' lainnya. Dulu rumah belum sebanyak sekarang.

Kembali ke masalah kepedulian antarwarga, hal ini saya perhatikan ketika saya baru saja sampai di Sanggar Ciliwung, saya diperkenalkan ke remaja yang tinggal di sekitar sanggar, salah satunya seorang gadis ramah yang saya lupakan namanya karena saya terlalu terpukau dengan minimnya gengsi yang ia punya. Ia berkenalan dengan saya, menyapa saya, menanyakan kegiatan saya, dan menjawab pertanyaan saya seolah-olah saya ini teman sepantarannya. Seperti tidak ada 'gengsi' yang selama ini saya temukan jika saya bertemu dengan tetangga saya!

Ada banyak hal yang sederhana namun sangat menggugah kesadaran sosial saya. Namun, dua contoh yang telah saya paparkan sangat sering menghantui pikiran saya. Semenjak saya mengenal Sanggar Ciliwung, terlepas dari program-programnya yang memang bertujuan agar tidak ada penggusuran di sekitar situ, saya menjadi lebih perhatian terhadap apa yang terjadi dengan kehidupan sosial kita sebagai penduduk Jakarta.

Saya jadi ingat kata-kata Pak Tiu, dosen matakuliah Heritage dan Perancangan, yang sederhananya saya rumuskan sebagai berikut:

KOTA = BERTINGGAL + BERKARYA + BERKOTA

Saya pribadi melihat Jakarta tidak memliki keseimbangan di antara 3 poin tersebut. Rank-nya seperti ini:
  1. Tempat Berkarya. Ada banyak orang desa yang ingin ke Jakarta karena Jakarta dianggap sumber penghasilan, tempat kerja bergengsi, tempat cari duit, dll yang cukup memberikan gambaran bahwa Jakarta adalah Tempat Berkarya.
  2. Tempat Bertinggal. Oleh karena banyak orang yang bekerja di Jakarta, maka mereka membutuhkan tempat tinggal. Jadilah, JRENG, "Tempat Bertinggal" di rank ke-2 sebagai hal yang mewakili sifat kota Jakarta
  3. Tempat Berkota. Ia berada di rank paling akhir. Bahkan, jika ada 100 poin yang mewakili apa itu kota, maka "Berkota" tetap menjadi rank terakhir sebagai poin yang mewakili sifat kota Jakarta karena minimnya pedestrian dan fasilitas penunjangnya, plus kurangnya lahan hijau atau taman untuk sekedar duduk-duduk dan kumpul-kumpul...intinya minim hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas bersosialisasi dan berbudaya untuk penduduk Jakarta. (Saya tidak menyebut mall sebagai salah satu wadah berkota karena mall sendiri secara keutuhan telah memberikan gap pada mereka yang mampu ke mall dan yang tidak mampu ke mall. ....kurang anarkis, makanya saya tidak setuju jika mall adalah wadah berkota. )
Saya rasa the 3rd place, yaitu Tempat Berkota tidak menjadi prioritas di kota metropolis ini. Mungkin karena semuanya terasa diarahkan untuk mencari kesuksesan dengan parameter "the more money you make, the more people call you the successful one". Padahal uang bukan satu-satunya hal yang harus didapat untuk memenuhi hasrat yang paling mendasar kita sebagai manusia.

5 HASRAT MANUSIA:
  • hasrat mempertahankan hidup
  • hasrat hidup dengan sesama
  • hasrat hidup berdamai dengan alam adikodrati
  • hasrat menyatakan diri
  • hasrat melanjutkan kehidupan
Jika uang masuk ke poin pertama, bukan berarti kita melupakan poin yang lainnya. Keseimbangan semua poin-nya, saya rasa, akan membuat kita tidak hanya bahagia secara utuh sebagai individu, tapi juga saling memberi kebahagiaan sebagai makhluk sosial.


"There is a quality even meaner than outright ugliness or disorder, and this meaner quality is the dishonest mask of pretended order, achieved by ignoring or suppressing the real order that is struggling to exist and to be served."
Jane Jacobs

Hayo! siapa yang merasa menindas dan tertindas di Jakarta?

04/09/10

North and South




Minggu lalu saya diberi tontonan oleh Bu Herlili di mata kuliah City Power, judulnya "North and Sourth". Sebenarnya film (lebih tepatnya mini series ) ini sangat membosankan dengan alur yang mudah ditebak. Namun, pernyataan Bu Herlili, bahwa review yang harus kita buat ini bukanlah review film biasa, membuat saya menontonnya dengan perhatian lebih, seolah-olah akan menemukan sesuatu yang spektakuler (reaksi yang berlebihan). Ga papa lah...itung2 melototin pemeran utama yang cowok...lumayan bo!

Yah, jadi...inilah hasil review saya mengenai "North and South" disertai bacotan saya yang sok-sok nyerempet ke politik dan arsitektur:


NORTH AND SOUTH - Keterasingan di Tengah Industrialisasi

“North and South” adalah sebuah mini series dengan latar belakang zaman industrialisasi di Inggris, dimana saat itu keadaan di bagian utara dan selatan Inggris sangatlah berbeda. Margaret Hale, seorang wanita dari kaum menengah, sangat menyukai daerah asalnya yang terletak di bagian selatan Inggris. Daerah itu dipenuhi dengan pepohonan, udara bersih, dan ketentraman ala pedesaan. Suatu hari ia dan keluarganya terpaksa pindah ke Milton, Inggris bagian utara, dimana asap pabrik mengepul, masyarakatnya nampak sibuk dan dingin, bangunan tinggi berdiri, dan minim lahan hijau . Di sinilah kemudian keluarga Hale bertemu dengan berbagai perbedaan yang tentu menekan mental mereka, mulai dari segi sosialnya hingga budayanya.

Film ini memberikan gambaran bagaimana kelamnya zaman industrialisasi pada abad ke-18. Terciptanya penemuan-penemuan, seperti mesin uap dan mesin tekstil disertai berdirinya pabrik-pabrik, hingga dapat mempercepat produksi dalam jumlah yang banyak dan meningkatkan labanya, tidak berarti memberikan kesejahteraan bagi banyak orang. Ketika pengusaha sibuk dengan keuntungan yang dihasilkan oleh pabriknya, para buruh justru terseok-seok mencoba untuk bertahan hidup dengan terus bekerja. Tanpa disadari hasrat bersosialisasi, baik para buruh maupun para pengusaha, telah ditutup oleh tuntutan untuk mencari uang.

They don’t need books...they only need smoke and money” – Mrs. Hale

Keadaan ini yang kemudian membuat suasana kota industrial, seperti Milton, menjadi kelam. Tidak ada keceriaan yang tercipta dari sekedar ramah-tamah, seolah-olah hidup para penduduk saat itu hanyalah untuk bekerja. Hal inilah yang kemudian membuat Margaret Hale merasa sendirian dan kesepian.

I wish I could tell you how lonely I am. How cold and harsh it is here. Everywhere there is conflict and unkindness. I think God has forsaken this place” – Margaret Hale



Di dalam film ini sebenarnya diperlihatkan pula sekilas tata kota dan bentuk bangunan pada masa itu. Menurut saya, keterasingan yang dirasakan Margaret Hale juga tersirat di dalamnya. Misalnya, letak pabrik yang berdekatan dengan pemukiman. Hal ini sebenarnya akan berdampak pada keengganan para penduduk untuk keluar dari rumah karena adanya asap pabrik. Tidak hanya itu, dekatnya jarak pabrik dengan pemukiman buruh tanpa disertai ruang berkota membuat para buruh hanya terfokus pada kegiatan bekerjanya. Belum lagi kawasan kumuh yang tercipta di sekitar pabrik dan rumah pengusahanya, sehingga muncul rasa kesenjangan karena perbedaan yang begitu besar.

Berbicara mengenai keadaan kota industrialisasi ini mengingatkan saya pada statement yang pernah diutarakan oleh F. Engels:

Every great city has one or more slums, where the working class is crowded together

Pernyataan ini membuat saya berspekulasi bahwa setiap kota besar yang sukses dengan produk massalnya memiliki sisi ironis di dalamnya: kawasan kumuh. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hal ini terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa itu ada dua kelas, yaitu kapitalis dan proletar, dimana para kapitalis sibuk dengan membuat diri mereka kaya dan para proletar sibuk mengikuti aturan para kapitalis. Ketidakpedulian kaum kapitalis terlihat dari gaji untuk buruh mereka yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan jam kerjanya. Minimnya biaya hidup inilah yang membuat para proletar hidup di tempat tinggal seadanya. Di saat yang sama kebutuhan tenaga kerja semakin banyak dan menimbulkan ledakan urbanisasi. Langkanya tempat tinggal membuat kaum proletar terpaksa membangun tempat tinggal di lahan-lahan yang tersisa. Alhasil, terciptalah kawasan kumuh tersebut. Hal ini juga tersirat pada pernyataan yang diberikan Engels:

(this industrial epoch) enables the owners of these cattle-sheds to rent them for high prices to human beings, to plunder the poverty of the workers, to undermine the health of thousands in order that they only, the owners, may grow rich




Kawasan kumuh juga sempat diperlihatkan di film North and South ini, yaitu ketika Margaret Hale mengunjungi rumah Nicholas Higgins untuk sekedar bertamu dan mengucapkan terima kasih karena Nicholas Higgins telah menolongnya. Selain kekakuan yang tercipta karena perbedaan budaya antara Hale dan Higgins, film ini juga menunjukkan sempit dan gelapnya rumah Higgins. Keadaan ini berbeda dengan rumah pemilik pabrik tempat Higgins bekerja, John Thornton. Rumahnya jelas jauh lebih lega. Namun, tetap timbul keterasingan di sekitarnya. Kemegahan rumah Thornton sudah cukup membuat kaum buruh mengambil jarak darinya. Adanya celah ini membuktikan bahwa kemewahan yang dimiliki Thornton justru menjauhkan dirinya dari “mesin uang” yang telah ia ciptakan, sehingga ia tidak (mau) tahu keadaan sebenarnya dan melupakan kepeduliannya.

Sebenarnya tidak hanya permasalahan sosial saja, masalah kesehatan hingga kualitas fasilitas umum juga muncul sebagai dampak adanya kapitalisme di era industrialisasi ini. Namun, secara garis besar, dari mini series ini, saya berkesimpulan, bahwa industrialisasi ternyata menimbulkan keterasingan yang tidak hanya dirasakan oleh sang pemeran utama, namun juga para kapitalis dan kaum proletar. Para pengusaha terlalu diasyikkan dengan laba yang mereka dapat dan para buruh terus dipecut untuk bekerja. Alhasil, keduanya menjadi terasingkan satu sama lain. Keterasingan inilah yang kemudian memberi dampak pada bentuk bangunan dan tata ruang kota yang tidak lagi manusiawi.

Mahasiswi Arsitektur SEMESTER 5!

Halo!
Mungkin beberapa dari anda pernah melihat blog ini sebelumnya dan dipenuhi dengan kalimat bahasa Inggris disertai banyak foto. Atau mungkin ada juga yang pernah melihat review saya mengenai beberapa band, konser, dan festival. Mohon maaf, saya memformat ulang blog saya. Alasannya karena saya merasa membutuhkan wadah untuk pengetahuan yang saya dapat dengan status mahasiswi arsitektur. Well..ini tidak berarti saya akan menulis semua hal tentang arsitektur. Saya tetap akan menulis semua hal yang saya sukai, tapi mungkin tidak hanya dalam bahasa Inggris saja, tetapi juga bahasa Indonesia (bahkan mungkin lebih banyak bahasa Indonesia :/)

Omong-omong, saya sudah semester 5, lho!
Ini berarti saya mendapatkan mata kuliah perancangan arsitektur 3 plus mata kuliah pilihan lain. Dan mata kuliah pilihan itu adalah: Arsitektur,kota,dan kuasa (city power) + Arsitektur etnik. Tidak ada alasan khusus mengapa saya memilihnya, selain rasa penasaran saya pada kedua mata kuliah pilihan itu. PA3, City Power, dan Arsitetkur Etnik adalah hal yang akan banyak saya bahas di blog ini karena ketiga mata kuliah itulah yang akan mewarnai keseharian saya.


selamat!

Jadi, selamat menikmati. Semoga tulisan saya bermanfaat :)